Ach, alangkah eloknya pantai Sanur di waktu
senja, gumamku di sela-sela kesepian yang menyelimuti kesendirianku
petang itu. Ternyata sudah hampir dua jam lamanya aku duduk-duduk
bernaung di bawah tenda kafe ini sambil menikmati pemandangan pantai
Sanur, seolah-olah waktu berlalu begitu cepatnya, ketika kulirik jam
tangan G-Shock yang melingkar di lengan kiriku, sudah hampir jam 6
sore.
Sebenarnya aku tak pernah semalas ini sebelumnya, dapat kupastikan
tak pernah sekalipun! seingatku, baru kali ini aku menjadi seorang
pemalas yang kerjaannya hanya membuang-buang waktu tanpa melakukan
sesuatu apa pun, selain memikirkan masa lalu ditemani gemuruh ombak
pantai yang sesekali tampak menggelora, seperti gejolak masa mudaku.
Yah, kupikir sesekali bermalas-malasan seperti ini oke juga! aku bagai
sedang menikmati hidupku, masa mudaku, tanpa memikirkan diktat-diktat
kuliah yang menumpuk di meja belajarku di Melbourne. Mengingat kota
itu, sama saja mengingat segudang tugas kuliah, laporan praktikum, dan
tampang dosen paling eksentrik di kampus, Mr Brown. Menjengkelkan!
Oke, sampai disini aku rasa aku sudah kebanyakan basa-basi. Aku
lupa kalau aku harus memperkenalkan diriku, lucu yah?!? pepatah bilang:
Tak kenal maka tak sayang, benar nggak? Namaku sebut saja Steve, I'm 23
years old in the mid of this year. Aku asli warganegara Indonesia,
sekalipun di dalam darahku, mengalir darah campuran Western dan
Chineese. Kini aku berada di Bali hanya dalam rangka berlibur, setelah
aku menyelesaikan studiku di Melbourne.
Mungkin, para pembaca yang kucintai bertanya-tanya, mengapa aku
menulis untuk situs ini? Apa aku kurang kerjaan? Tentu saja, tidak!
lantas, mengapa aku menulis untuk kolom sesama pria? Apakah aku ini gay
atau homoseksual? Mungkin! Aku pun kadangkala bingung sendiri dengan
orientasi seksualku, apakah aku ini gay? Tetapi kalau divonis seperti
itu, aku sendiri tak bisa menjawab iya! Petualangan cintaku sebetulnya
cukup banyak dan mungkin bagi sebagian orang tampak begitu rumit. Aku
juga pernah jatuh cinta pada wanita, bahkan sekali waktu aku pernah
memacari dua wanita sekaligus dalam kurun waktu yang bersamaan, namun
tak bertahan lama. Kami putus setelah mereka sadar bahwa aku ini bukan
tipe cowok yang setia, hah. Bagaimana bisa setia kalau cintaku harus
terbagi fifty-fifty.
Waktu duduk di bangku SMU, aku juga pernah beberapa kali berpacaran
dengan beberapa gadis top di sekolah, tapi yang paling berkesan tentu
saja dengan seorang anggota cheerleader, sebut saja namanya Mawar. Dia
adalah pengalaman pertamaku, mengenal apa yang disebut hubungan seks.
Sampai detik ini, aku tak pernah lagi melakukannya dengan wanita,
sekalipun di Melbourne kesempatan untuk berbuat seperti itu terbuka
lebar untukku. Tetapi, disela-sela perjalanan cintaku dengan beberapa
cewek itu, aku tak bisa mengingkari, bahwa ada terselip nama beberapa
orang teman cowok yang pernah mengarungi lautan asmara bersamaku. Itu
yang coba kuceritakan pada para pembaca saat ini, satu demi satu
berdasarkan apa yang aku ingat. Setidaknya ada tiga orang yang
menorehkan kesan mendalam untukku, Denny, Valent, dan seorang lagi
adalah cowok Taiwan yang satu kelas denganku di Melbourne, sebut saja
namanya Zai-Zai.
Aku mulai dari Denny, teman cowok yang aku kenal ketika kami
sama-sama duduk di bangku kelas 3 SMP. Kami memang tidak satu sekolah,
aku mengenalnya dalam sebuah pertandingan volley antar sekolah dimana
team volley kebanggaan sekolah kami bertemu dengan team sekolah Denny
di babak final. Dengan tidak melebih-lebihkan, jujur kuakui kalau Denny
itu jago banget main volley. Pantas, kalau teman-temanku yang
mengenalnya sebelum aku, menyebut Denny "sang Maestro dari SMP 12",
kehebatannya dibuktikan dengan menang telak atas tim sekolahku waktu
itu. Tetapi meski begitu, ia tipe cowok yang low profile, dan itu yang
paling aku suka dari kepribadiannya. Kalau bicara tentang penampilan
fisik, sekalipun bagiku itu nomor dua, Denny tak terlalu mengecewakan.
Senyuman dan tampangnya sekilas mirip bintang iklan mie gelas yang ada
di TV, aku tak tahu nama bintang iklan itu, tapi kurang lebih seperti
itulah Denny.
Sesaat setelah pertandingan final usai, dan tim Denny dinyatakan
sebagai pemenang, Aku masih ingat betul ketika anggota tim kami dan tim
lawan bergantian saling berjabat tangan dan saling peluk sebagai tanda
persahabatan dan sportivitas. Ketika giliranku memeluk tubuh Denny, aku
seolah merasakan getaran batin yang begitu kuat di dadaku, aku
deg-degan! Kupikir, barangkali itu dikarenakan aura Denny yang
memancarkan karisma yang begitu kuat di dalam dirinya. Hah, Denny.
Mengingatnya, membuat gejolak dan gairah masa remajaku bangkit kembali.
Kini, Aku memang merindukannya, ingin sekali aku bertemu dengannya dan
mengulangi apa yang pernah kami lakukan ketika usia kami masih dianggap
anak bau kencur.
Suatu sore, aku merasa kejenuhan yang teramat sangat. Entah
mengapa, aku sendiri tak tahu. Tapi yang jelas, aku lagi BeTe.
Kerjaanku sejak siang hanya mengurung diri di kamar, tapi tak bisa
tidur. Sesekali aku keluar hanya untuk mondar-mandir bak orang
linglung. Lama-kelamaan aku bisa gila kalau tidak melakukan apa-apa,
pikirku. Papa dan Mama belum pulang, sebenarnya ini merupakan
kesempatan besar bagiku kalau aku mau "kabur" dengan BMW kesayangan
papa. Papa nggak akan mengijinkan aku keluar kalau ia sudah datang,
apalagi membawa BMW-nya. Katanya, saat berkumpul bersama keluarga
adalah saat yang sangat penting. Hah, omong kosong! Tiap hari mereka
berdua keluyuran sendiri dan pulang tidak pernah sebelum jam delapan,
sementara aku dilupakan. Kalau pun ingat, paling-paling hanya dibawakan
oleh-oleh sebungkus fried chicken kegemaranku.
Aku pun tak mau mengulur waktu lagi, aku harus pergi sekarang atau
tidak sama sekali! Aku cepat-cepat saja kembali ke kamarku, menukar
kaos oblongku dengan kaos kutung. Kalau keluyuran, aku lebih suka pakai
kaos kutung. Aku memang tak begitu acuh dengan pakaian dan formalitas.
Kalau enak dan aku suka, yah kupakai! Lagian, kata beberapa teman,
lenganku berotot, jadi tampak seksi kalau aku pakai kaos kutungan. Hah,
mereka memang ada-ada saja. Coba yang bilang begitu bukan orang berotak
rada sinting seperti mereka, pasti PD-ku bakal lebih meningkat!
Aku tahu pasti dimana papaku biasa menyimpan kunci duplikat
BMW-nya, yaitu di laci kamar yang kadang-kadang tidak dikunci kalau
waktunya Mbok Ran membersihkan kamar. Dan sungguh, Dewi keberuntungan
memang berpihak padaku sore itu, maka langsung kusikat saja sebuah
kunci mobil dan STNK dari dalam laci kamar papa yang memang tidak
dikunci. Mbok Ran memergokiku dan beliau sempat mencegahku, tapi aku
cuek saja, malahan aku menggodanya dengan mencium pipinya dan langsung
kabur. Cewek mana sih yang tidak akan terhipnotis setelah mendapat
ciuman mautku? Kujamin, pasti Mbok Ran tidak akan membasuh mukanya
sampai hari ketujuh, hah. Anak juragan yang nakal!
Sore itu sebetulnya aku sudah tahu pasti kemana aku akan pergi
dengan BMW papaku, yaitu ke SMP 12. Sore itu jadwal Denny latihan
volley di sekolahnya, dan ia biasanya selesai latihan jam 6 sore,
sepuluh menit lagi! Aku ingin sekalian menjemputnya dan sesudah itu
mengajaknya jalan-jalan ke mall. Supaya Denny tidak pulang
mendahuluiku, maka kuputuskan untuk menelponnya dulu. Hampir saja aku
terlambat, Denny sebetulnya sudah selesai latihan saat itu dan ia
memang akan segera pulang. Tapi begitu aku menelponnya dan menawarinya
jalan-jalan, Denny tak kuasa untuk menolak. Anak satu ini ternyata suka
keluyuran juga, gumamku seusai menutup HP sambil nyengir. Tak lama
kemudian, aku sudah sampai di depan pagar SMP 12, di ujung jalan, Denny
sudah tampak menungguku dengan memegang sebuah bola volley ditangannya.
"Mau jalan-jalan kemana, Steve?" tanyanya setelah duduk di sampingku di jok depan. Aku memandangnya sesaat sambil nyengir.
"Pokoknya ikut aja!" sahutku sambil menggerakkan persneling di samping pahaku.
Sejenak, sempat kuperhatikan pakaian sport yang dipakai Denny, kaos
kutung dan celana pendek birunya yang sama persis dengan yang
dipakainya ketika pertandingan dulu. Tak luput juga dari perhatianku,
betis dan separuh pahanya yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Tapi
jangan berburuk sangka dulu, waktu itu aku tidak berpikir jorok sama
sekali, hanya saja aku sedikit kaget karena kupikir agak tidak wajar
kalau usia seumuran kami, sudah punya bulu-bulu selebat itu, betisku
saja sampai saat itu masih mulus.
"Gila, bulu kamu lebat banget, Den!" kataku sambil berdecak dan berlagak seolah aku mengaguminya, memang!
"Emangnya kenapa? enggak boleh?" tantang Denny.
"Enggak, enggak pa-pa kok! aku cuma rada iri, hehe," sahutku ngocol.
"Oh, gitu yah? kayak orang yang nggak punya bulu aja! Jangan
pura-pura deh, yang disembunyiin pasti lebih lebat dari punyaku!" sahut
Denny ngasal. Aku sih hanya senyam-senyum saja mendengarnya.
"Kalau kepengen tahu, bilang aja terus terang!" kataku dalam hati.
"Steve, antar aku pulang dulu yah. Masak jalan-jalan pakai baju beginian?" pinta Denny lagi.
Ia lantas menyebutkan alamat rumahnya yang tidak begitu jauh dari
sekolah. Aku sih setuju saja mengantar Denny pulang dulu, biar sekalian
aku juga tahu dimana rumahnya.
Setiba dirumahnya, Denny mengajakku masuk sebentar sementara
menunggunya mandi dan ganti baju. Aku menunggu Denny mandi kurang lebih
sepuluh menitan di ruang tamunya yang cukup luas. Sesudah itu, Denny
turun dari kamarnya di lantai dua dengan pakaian yang tak jauh beda
dengan pakaian yang aku pakai, setelan celana jeans dan kaos kutung,
hanya saja ia melapisinya dengan jacket.
"Oke aku siap!" kata Denny kemudian sambil menutup restsleting
celananya yang masih setengah terbuka karena terburu-buru. Denny keluar
lebih dahulu, sementara aku menyeruput habis orange juice-ku yang masih
tersisa separuh di atas meja tamu.
Singkat cerita, malam itu kami sempat berkeliling kota,
berjalan-jalan di mall sambil menebar pesona, dan makan malam di salah
satu restoran fast food. Tak begitu mengecewakan acara yang kami buat
malam ini, paling tidak saat di mall, kami sempat berkenalan dengan
beberapa orang gadis cantik, yang salah seorang diantaranya ternyata
seorang artis sinetron.
Aku dan Denny memutuskan pulang setelah jam 10 malam, entah mengapa
aku begitu senang malam itu. Aku benar-benar lupa bahwa ketika aku
sampai di rumah nanti, aku harus siap menerima dampratan dari papa plus
omelan dari Mama, atau paling parah aku tidak akan diberi uang saku
selama seminggu. Tapi aku mulai merasa galau ketika dalam perjalanan
pulang, pikiranku tidak bisa tenang memikirkan hukuman apa yang akan
aku terima nanti. Dengan takut-takut, aku memutuskan untuk menelepon ke
rumah setidaknya mengabarkan kalau aku pulang telat malam ini.
Untunglah, yang menerima teleponku Mbok Ran. Dari beliau juga ku
ketahui bahwa papa dan Mama tidak pulang malam ini karena harus
menemani relasi papa menginap di hotel.
"Mbok Ran, aku malam ini kayaknya juga nggak pulang, aku nginap di rumah temanku, kerja PR!" kataku mengada-ada.
Padahal, aku belum bilang pada Denny, kalau aku mau menginap di
rumahnya. Setelah, telepon kututup. Denny memandangku sambil
mengernyitkan kening.
"Nginap di rumah teman? kerja PR? teman mana yang kamu maksud?" tanya Denny.
"Temanku yang di kutub selatan. Siapa lagi? ya kamulah! boleh kan
aku nginap di tempatmu malam ini? kebetulan papa dan Mamaku nggak di
rumah malam ini. Please," pintaku sambil berlagak memelas.
Denny tampak berpikir sebentar sambil mengernyitkan keningnya dan
menggigit-gigit bibir bawahnya, seolah-olah keberatan menerimaku
menginap di rumahnya.
"Ayo dong, jangan pelit-pelit! apa perlu bayar untuk nginap
semalam?" gurauku masih dengan nada memelas. Lucu, baru seminggu kenal,
sudah bisa seakrab gini.
"Oke, aku bilang sama ortu-ku dulu, sekalian aku tanya tarif sewa
hotelnya semalam! soalnya yang punya hotel kan mereka. Tapi kalau
seandainya ortu-ku lagi nggak mood or nggak setuju, jangan maksa loh
yah! Lagian, belakangan ini banyak kasus perampokan rumah sih, jadi
kemungkinan besar ortuku nggak sembarang terima orang iseng yang mau
nginap," kata Denny sambil bermimik serius.
"Brengsek, emangnya aku maling apa?!?" sahutku ketus.
Tak lama sesudah itu, kami sampai di rumah Denny yang tampak asri sekalipun tak terlalu mewah dibandingkan rumah tetangganya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, malam itu kedua orang tua Denny tidak
keberatan sama sekali kalau aku menginap di rumah mereka, bermalam
sekamar dengan Denny di lantai dua. Denny mengantarku ke dalam kamarnya
yang lumayan besar dan sejuk. Kupikir, kamar Denny masih lebih nyaman
daripada kamarku.
Di sudut ruangan, tampak satu set meja belajar dengan buku-buku
yang tertata rapi, disebelahnya ada seperangkat televisi, tape compo
dan playstation. Semua koleksi CD-nya pun tertata apik disebuah rak
panjang disebelahnya. Ternyata, Denny bukan cuma keren, namun orang
yang perfeksionis dan cinta kerapian. Jauh berbeda dengan sifatku yang
rada "jorok", hehe. Tetapi, para sesepuh bilang kalau "perbedaan itu
indah"! (hah, membela diri nih!)
Wah, ini awal dari kisah yang menegangkan dalam ceritaku ini.
Bermula pada saat Denny melepaskan pakaiannya satu per satu di depan
mataku tanpa rasa canggung sedikit pun. Kala itu, pintu sudah terkunci,
bahkan berani kupastikan seekor kecoa pun tidak akan bisa masuk,
apalagi gajah! Entah kenapa, bagai terhipnotis, mataku melotot tak
berkedip memandang tubuh mulusnya yang sesaat dipamerkan di hadapanku.
Dadanya yang bidang dan putih mulus, perutnya yang datar, dan lebih
lagi bulu-bulunya yang tampak mulai lebat di dada dan ketiaknya.
Denny tampak begitu macho dan jauh lebih seksi dengan bertelanjang
dada dan hanya dibungkus oleh celana jeans ketat dengan sabuk besi yang
mulai dibukanya perlahan. Denny bahkan sama sekali tidak canggung,
bergerak kesana kemari di hadapanku sambil melepaskan pakaiannya dan
kemudian menggantungnya satu per satu di balik pintu kamar.
Sementara aku, denyut jantungku berdegup lebih kencang, dan untuk
sedikit menenangkannya, aku merangsek ke tengah spring bed sambil
bersandar di tembok. Tatapan mataku belum lepas dari Denny. Entahlah,
kurasa aku belum pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya ketika
memandang tubuh teman-teman priaku. Bahkan sekalipun aku sering mandi
bersama dengan kakak cowokku dan sama-sama dalam keadaan telanjang
bulat, aku tidak merasakan apa-apa.
Denny menarik restletingnya ke bawah, kemudian ia memelorotkan
celana jeansnya yang agak sesak, ia tak langsung berganti celana,
melainkan menggantung celana jeans tersebut di balik pintu dan sekalian
mengambil celana kolornya yang juga tergantung di tempat yang sama.
Karena itu, aku bisa menikmati pemandangan pahanya yang mulus,
bulu-bulu yang tidak kalah lebatnya dari bagian atasnya, dan tentu saja
CD G-Stringnya yang berwarna putih dan rada transparan mempertontonkan
lubang pantatnya. Juga tak kalah menarik, yaitu tonjolan besar dibagian
depan CD-nya itu.
Wow, sekilas saja aku melihatnya sudah membuat air liurku menetes tak
keruan. Gila benar, badannya bagus banget, pikirku. Sementara itu,
penis kesayanganku di bawah sana sudah mulai membatu, keras dan mulai
terasa sesak memenuhi CD-ku. Sesaat, kumasukkan tanganku ke balik
celanaku untuk membetulkan letak penisku agar tidak kejepit.
Usai tontonan yang cukup membikin jantungku hampir copot itu, Denny
mendekatiku, tetap ia sama sekali tak menyadari kalau mataku jelalatan
sejak tadi memandangi tubuhnya yang nyaris bugil. Denny duduk disisiku
di atas ranjang, ia pun bersandar. Ia mengambil sebuah buku di meja
yang ada di sisi ranjang. Setelah kuamati, ternyata buku yang
dipegangnya adalah diktat Biologi kelas 2.
"Ngapain belajar itu? Ebtanas bukannya masih dua bulan lagi?" tanyaku heran.
"Iya sih, tapi besok aku ada try out. So, sorry banget kalau aku
nemenin kamu sambil belajar. Nggak pa-pa kan? kamu kamu suka main PS,
main aja asal jangan nyalain tape aja. Aku nggak bisa konsen kalau
bising! enggak pa-pa kok, anggap aja rumah aku! hehe," gurau Denny
sambil nyengir.
Aku sebenarnya rada kecewa mendengarnya, soalnya sebelumnya aku
pikir kalau Denny bakal menemaniku ngobrol sepanjang malam, karena ada
satu masalah yang ingin aku curhatin sama dia. Karena selama ini, aku
belum menemukan seorang sahabat yang bisa aku percaya untuk menyimpan
rahasia dan begitu dewasa seperti Denny.
Aku merapatkan badanku ke badan Denny, sambil berpura-pura membaca
apa yang ia baca. Sementara Denny tampak begitu serius belajar dan
membalik halaman demi halaman buku yang tebalnya lebih 2 cm itu. Karena
saking konsentrasinya Denny belajar, timbul ide gilaku untuk membantu
sedikit mengendurkan urat syaraf otaknya yang tegang.
Aku mengeluarkan jurusku yang pertama. Aku ambil dompetku dari saku
belakang celanaku, lalu dari dalamnya aku ambil sebuah foto layak
sensor, apalagi kalau bukan foto telanjang seorang cowok yang sedang
full ereksi. Kemudian, foto itu kutaruh di tengah-tengah halaman buku
yang sedang dibaca Denny. Kontan saja, Denny kaget melihatnya, dia
sedikit marah karena aku ganggu, tapi mungkin waktu itu ia sempat
curiga melihat aku punya foto seperti itu.
"Gila, apa ini?" katanya ketus sambil melemparkan foto itu atas ranjang.
Denny melanjutkan lagi belajarnya, mukanya setengah kusut. Tapi
aksiku tak berhenti sampai disana, aku ambil foto itu dan kutunjukkan
lagi pada Denny, kali ini tidak di atas lembaran buku, namun kusodorkan
ke depan mukanya.
"Ini pelajaran yang kamu baca barusan, yang ini gambar anatomi
tubuh manusia yang lebih jelas dan nyata, gimana?" kataku sambil
nyengir.
Kemudian, aku sebutkan satu persatu bagian tubuh yang ada di gambar
itu, berlagak seolah-olah seorang guru yang mengajari muridnya. Tetapi
begitu sampai pada bagian vital yaitu penis, tanganku tak lagi menunjuk
pada gambar, namun refleks meraba penis Denny sendiri.
"Yang ini namanya penis, mengerti?" kataku menantang, sementara itu
tanganku tak mau beranjak memegang penis Denny, karena begitu pertama
kali aku menyentuh penisnya, aku merasakan penis Denny sudah mengeras.
Cukup lama juga aku meraba-raba penis Denny sampai akhirnya Denny
menyingkirkan tanganku dari area terlarangnya.
"Stop, apa-apaan sih kamu ini?" bentak Denny sambil menggeser
tubuhnya sedikit menjauh. Tapi sudah terlihat di raut mukanya, kalau
Denny sudah tidak bisa sekonsen tadi menghadapi buku pelajaran yang
dipegangnya. Ia hanya berpura-pura konsentrasi, aku tahu itu! Tapi aku
sadar, aku tak boleh mengganggunya kalau ia tidak suka, takutnya ia
malah jengkel dan mengusirku malam itu, apalagi jam sudah menunjukkan
hampir pukul 12 malam.
Aku lantas berbaring, aku merasa rada capek, tapi anehnya aku tak
ingin cepat tidur sebelum Denny tidur karena aku tak bisa tidur dalam
keadaan terang benderang seperti saat itu, tetapi di samping itu, aku
juga masih memikirkan tubuh telanjang Denny yang begitu seksi yang
kulihat tadi.
Aku hanya berbaring tanpa memejamkan mata, kupandangi langit-langit
sambil sesekali mencuri-curi pandang ke arah Denny di sebelahku. Cukup
lama aku menunggu, karena Denny baru berbaring setelah jam 1 dini hari.
Raut mukanya sudah tampak kelelahan sekali. Tetapi anehnya, untuk
beberapa saat, aku perhatikan kalau Denny seperti orang gelisah,
beberapa kali ia membolak-balik posisi tidurnya seperti kue serabi.
"Mikirin apa? Kok nggak tidur-tidur?" tanyaku pelan.
Denny mengubah posisi tidurnya lagi, kali ini menghadap aku. Begitu
dekatnya muka kami berdua, sehingga aku bisa melihat lebih jelas
sepasang mata indahnya dan hidungnya yang mancung, serta bibir tipisnya
yang menawan itu.
"Kau juga kenapa belum tidur?" katanya balik bertanya.
"Aku nggak biasa tidur jika lampu hidup!"
"Nah, sekarang lampu kan sudah kumatikan, tidurlah!"
"Den, aku suka kamu!" tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari bibirku saat itu.
Denny hanya meresponnya dengan senyuman, aku tahu ia pasti menganggapku sedang bercanda pagi itu.
"Apa maksudmu? Emangnya apa yang kau sukai dari aku?"
"All. Awalnya sih aku sekedar kagum sama performance-mu, apalagi di
lapangan. Tapi belakangan, aku jadi tambah suka sama kamu, barangkali
semuanya. Entahlah, aku suka gayamu, kepribadianmu, your smiling face,
dan semuanya. But, tolong jangan berpikir negatif dulu. Aku cuma nggak
mau kehilangan seorang sohib kayak kamu. Be my close friend forever,
please!" kataku pelan.
"Tentu, kenapa enggak? kamu ngomong gitu seolah-olah kita mau
pisah aja. Tapi terus terang, aku memang punya banyak teman dan
sahabat, tapi yang terasa paling spesial itu cuma kamu.."
"Really?" tanyaku setengah tak percaya, namun bercampur senang.
"Iya, soalnya kamu yang paling aneh sih. Aku nggak ngerti jalan
pikiranmu! Kamu itu teman aku yang paling lucu.. Hihi" kata Denny
melucu.
Tapi aku tak tertawa, aku malah jengkel dibuatnya. Kuambil guling
disebelahku dan kupukulkan ke mukanya, tentu saja hanya sebatas
bercanda, "Dasar, semprul!" Kemudian, guling itu kubekapkan ke mukaku,
kucoba untuk tidur. Denny pun tak terdengar suaranya lagi, ia tertidur.
Jam 2 lebih seperempat, ternyata aku belum tidur juga. Pikiranku
masih galau, kemudian kunyalakan lampu kecil di meja yang ada tepat di
sampingku. Kulirik tubuh Denny yang tergolek di sebelahku. Tubuh yang
seksi dan sedang terlentang di depan mataku, membuat denyut jantungku
makin tak keruan.
Celana kolornya sedikit tersingkap, sehingga CD putihnya tampak
dari luar. Bagaimana dengan penisnya? aku sangat penasaran untuk dapat
mengetahuinya. Seberapa besarnya, warnanya apa dan bagaimana rasanya
jika kupegang dengan tanganku, seberapa lebat jembut-jembut yang
mengelilinginya dan bagaimana rasanya jika kupegang,
pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai berkecamuk dalam pikiranku?
Apakah penis Denny "sekeren" orangnya?
Akhirnya karena sudah tak tahan lagi, tanganku mulai bergerilya
menggerayangi tubuh Denny. Hal pertama yang aku lakukan adalah pemetaan
lokasi, yaitu menumpangkan tanganku di atas bagian yang menonjol dari
balik celana Denny. Aku meraba-raba perlahan sambil bergemetaran, dan
mulai kurasakan setiap lekukan-lekukan penisnya.
Wow, lumayan besar juga, bagaimana jika sedang ereksi? Sementara
itu, tangan kiriku sendiri kuselipkan ke sela-sela celanaku untuk
menggapai batang kejantananku yang sudah mengeras. Di saat-saat yang
menegangkan itu, aku berusaha menyinkronkan gerakan tangan kanan dan
tangan kiriku agar bisa kurengkuh kenikmatan yang maksimal. Sekali-kali
kukocok juga penisku yang panjangnya tak kurang dari 15 cm itu. Wow,
nikmatnya!
Tak puas sampai di situ saja, aku melepaskan penisku dari
genggaman. Supaya lebih leluasa, aku buka saja celana jeans-ku,
sehingga aku setengah telanjang dengan hanya memakai singlet dan celana
dalam. Penisku tegak dan bergoyang-goyang kesana kemari bagai batang
bambu yang tertiup angin surga.
Sesudah itu, aku bangun dari posisi tidurku, aku setengah
berjongkok di sebelah Denny. Apa lagi yang akan kulakukan, kalau bukan
berusaha melepaskan celana kolor Denny agar aku bisa benar-benar
menikmati penisnya dalam genggaman tanganku. Pasti akan lebih asyik
tentunya! Dengan perlahan dan hati-hati sekali, aku mulai memelorotkan
celana Denny sampai sebatas lutut. Dan kini, di depan mataku yang
membuka lebar, terpampang sebuah pemandangan menakjubkan, paha Denny
yang mulus dan penisnya yang hanya dibalut celana dalam.
Untuk beberapa saat lamanya, aku hanya memandangi tubuh lemah tak
berdaya itu, aku sungguh menikmatinya. Luar biasa, pikirku. Kupegang
lagi tonjolan itu, masih terasa sama seperti yang tadi, kudapat kesan
ada sesuatu yang besar dan kokoh di balik CD itu, hanya saja kali ini
lebih jelas terasa. Lalu kedekatkan wajahku ke tonjolan itu.
Harum semerbak mewangi aroma kejantanan seorang lelaki dari CD yang
dipakainya. Kujulurkan lidahku, kujilati setiap lekukan pada seputar
tonjolan itu dan bahkan ke seputar selangkangannya, dan kubaui setiap
bulu-bulu halus yang tumbuh liar di paha Denny yang sangat mulus. Wow,
nikmatnya!
Lantas setelah itu, tanganku yang sudah gatal sejak tadi pun mulai
melancarkan agresinya, kusebut sebagai "agresi liar tak terkendali".
Keselipkan tanganku ke balik CD itu, perlahan namun pasti aku coba
untuk melepaskannya, dan berhasil sekalipun dengan sedikit kerja keras
agar Denny tak sampai terbangun.
Wow, mulutku tanpa komando berdecak kagum menikmati apa yang kini
ada di depan mataku. Jauh lebih menggiurkan dari sepotong ayam goreng
atau bahkan steak termahal sekalipun. Sebuah sosis segar yang
kecoklatan yang tampak lunglai! Ingin sekali aku segera mencicipinya
dengan mulutku. Karena itu, tanpa komando, aku dekatkan lagi mulutku ke
sosis itu.
"Plok!" penis Denny sudah tenggelam di dalam mulutku, perlahan
namun pasti kumasukkan penis itu sampai tenggelam seluruhnya di dalam
mulutku, lalu kuhisap, kulemot dan kuempot maju mundur.
Aku sedikit kaget dan melepaskan hisapanku ketika tubuh Denny
bergerak dan ia berganti posisi. Kali ini sedikit menyulitkanku untuk
menjangkau penisnya, karena Denny memeluk guling, sehingga aku hanya
diberi pantatnya. Tapi tak apalah, pantatnya pun tak kalah menggiurkan.
Aku berbaring di belakangnya, lalu kugesek-gesekkan penisku ke
pantatnya, sementara tanganku meraba-raba perut, dada dan puting
susunya secara bergantian. Tapi tak hanya itu, aku juga mulai
memberanikan diri untuk menciumi leher dan pipinya yang bersih dan
halus. Tapi karena aksiku itu, Denny bergerak-gerak. Mungkin ia merasa
geli akibat agresi yang kulancarkan. Tapi untunglah, Denny tak sampai
terbangun, atau ia memang pura-pura tidur agar aku bisa tetap leluasa
menggerayanginya, aku juga tak tahu dan aku tak peduli!
Bau deodoran yang dipakai Denny malah membuatku makin horny dan
membuat lidahku betah berlama-lama menghisap seluruh bagian tubuhnya,
bahkan di balik ketiaknya sekalipun, aku suka dengan rasa geli akibat
gesekan wajahku dengan bulu-bulu ketiak Denny yang lumayan lebat.
Ketika kesempatan itu tiba, aku tak menyia-nyiakannya. Dari balik
punggungnya, aku coba untuk meraih penis Denny yang panjangnya dapat
kuperkirakan tak kurang dari 16 cm jika sedang ereksi itu. Dapat! Aku
kocok perlahan sambil kugesek-gesekkan kemaluanku ke lubang pantatnya,
berirama dan sungguh menggairahkan!
Paginya, aku terbangun jam 6 pagi setelah kudengar suara seseorang
menggedor pintu kamar seraya memanggil-manggil nama Denny, ternyata itu
suara pembantu di rumah Denny. Sementara itu kulihat Denny masih
terlelap di sebelahku, tentu saja ia masih tak bercelana dan penisnya
tampak begitu perkasa pagi itu. Sesudah aku terbangun, Denny pun
menyusul.
Dengan masih setengah mengantuk, betapa kagetnya ia mengetahui
kalau ia tak bercelana saat itu. Ia segera mengambil celana kolor dan
CDnya yang bergeletakan di atas kasur, kemudian ia memakainya dan
langsung ke kamar mandi di dalam ruangan itu, ia tak berkata sepatah
kata pun. Aku tahu, ia pasti marah padaku.
Ketika aku masih linglung dan pikiranku kacau memikirkan kemarahan
macam apa yang akan diluapkan oleh Denny, tiba-tiba kudengar Denny
memanggil namaku sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar
mandi.
"Kenapa bengong saja? Kau tidak mandi? Kita sudah kesiangan ke sekolah tahu!" katanya sambil melemparkan handuknya ke mukaku.
"Kau sudah selesai?" sahutku dengan gagap.
"Belum, mandi sama-sama aja disini. Airnya segar!" ajaknya yang langsung kutanggapi dengan girang.
Kebetulan sekali, pikirku. Ternyata dugaanku meleset total, Denny
tidak marah sama sekali padaku. Aku tahu Denny memang terkenal orang
yang sabar, karenanya banyak cewek yang kepincut sama dia.
Aku segera bangkit dari kasur pegas itu dan bergegas menuju kamar
mandi sebelum pintu itu tertutup lagi untukku, atau lebih jelasnya
sebelum Denny berubah pikiran! Wow, di dalam kamar mandi pagi itu,
mataku benar-benar bisa terpuaskan menikmati setiap lekukan tubuh Denny
yang atletis, mungkin begitu pun sebaliknya, jika Denny menyukai
tubuhku juga. Kami berdua benar-benar berbugil ria, tanpa tertutupi
oleh sehelai benang pun di tubuh kami.
Sejak hari itu aku jadi keranjingan untuk main-main dan bahkan
menginap di rumah Denny, yang sudah kuanggap sebagai rumah keduaku
setelah rumah yang dibeli ortuku sendiri. Aku sering belajar bersama di
sana, nonton vCD, main PS dan termasuk melakukan "hal-hal" yang
menyenangkan. Namun sebetulnya kami lebih sering menghabiskan waktu
untuk belajar bersama kala itu, karena kami sedang dalam persiapan
menghadapi Ebtanas.
Sampai akhirnya kami berdua bisa lulus dengan nilai yang boleh
dikata memuaskan. Dan aku sadar, bahwa keberhasilan itu juga berkat
persahabatan kami. Namun sejak memasuki SMU, kami berpisah. Aku
melanjutkan SMU-ku di negeri kangguru, sedangkan Denny hijrah ke
Jakarta. Sejak itu kami betul-betul putus hubungan.
Lantas, kalau kalian bertanya dimana Denny sekarang? Sebelum aku
menjawabnya, aku ingin bertanya: Percayakah kalian pada apa yang
dinamakan "kebetulan yang menyenangkan"? Kalau kalian percaya itu,
mungkin semacam itulah yang aku alami ketika tak sengaja aku bertemu
dengan Denny di hotel ini dua hari lalu. Kami ternyata sama-sama
menginap di hotel yang sama, dan kini Denny sedang bersamaku menghadapi
laptop kecil ini. Bahkan yang lebih gila lagi, ia kini sedang asyik
memain-mainkan penisku di lidahnya.
"Argh, terus, Den, terus!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar