Rabu, 18 Juli 2012

Alex, Maafkan Aku

Satu masa telah terlewati 
Benci dan rindu merasuk di kalbu 
Ada apa dengan cintaku 
Sulit untuk aku ungkap semua 

Ini adalah kisah lanjutan dari kedua kisahku sebelumnya. 'Kenangan Masa Lalu' dan 'Aku, Pamanku Dan Sepupuku'. Sebelumnya aku mau berterima kasih atas respon yang luar biasa dari para pembaca. Thanks banget. Aku juga mau berterima kasih untuk sumbercerita.com yang mau menampilkan kisahku ini. Mungkin aku sedikit naïf dengan cerita ini, tapi sekali lagi mohon maaf jika "mungkin" tidak se'hot' dengan cerita lainnya karena ini kisah asli. Kuambil kisah ini dari buku harianku yang sesungguhnya ingin kulupakan dan kubuang. Masa-masa indah yang menyakitkan. Yang coba kurangkum. 

**** 

Selama kuliah, aku dapat mengatasi gejolak hati ini. Aku sibuk dengan pekerjaan dan mengajar di bimbel. Bahkan aku berusaha untuk menyukai seorang wanita, yang akhirnya kandas. Tahun 1999 aku masuk sebuah organisasi kepemudaan (bukan organisasi teroris loh). 

Suatu hari seseorang yang tidak aku kenal tiba-tiba menyodoriku setumpuk brosur. 

"Eh.. Kamu, bagiin brosur neh" 

Aku kaget karena tidak mengenalnya. Bahkan aku dibuat kesal saat itu karena dia seakan-akan memerintah orang seperti pelayannya sendiri sedangkan saat itu aku ingin pulang. 

"Dasar tuh orang" pikirku sambil tetap membagikan brosur. 

Setelah hampir 20 menit kulihat dia tidak ada. 

"Wah, dia mau lepas tanggung jawab ya" pikirku lagi. Aku segera membawa sisa brosur dan kuberikan ke orang lain yang juga sedang membagikan brosur. Aku beralasan ingin balik pulang. 

Seminggu kemudian aku ditugaskan didaerah utara Jakarta (maaf dirahasiakan). Saat turun dari taksi, aku segera masuk dalam ruangan. Kuberikan jabat tangan dengan orang-orang di sana sambil mengenalkan diriku hingga aku tertegun saat seseorang juga memberikan jabat tangan. Ya, orang yang sok itu. Ia tersenyum padaku. 

"Oh, kamu yang bantuin aku waktu itu ya" katanya "Namaku Alex" 

Sebenarnya aku agak kesal tapi saat melihatnya tersenyum, panas dihati jadi turun. Kusodorkan tanganku untuk berjabat tangan. 

"Gunawan" kataku.. 

Saat sedang makan siang, ia duduk disebelahku. Ia bercerita tentang dirinya dan akupun terlibat dengan pembicaraannya. Kemudian ia menawarkan agar saat pulang nanti bisa naik motor dengannya. Kupikir, kenapa nggak? Bisa menghemat ongkos taksi. 

Itulah awal perkenalan kami. Umurnya saat itu masih 26 tahun sedangkan aku 21 tahun. Dia orang Chinese, berasal dari Singkawang. Sifatnya periang, sanguinis, walaupun umurnya 5 tahun lebih tua dariku tapi kadang masih kekanak-kanakan. Selama enam bulan pertama perkenalan kami, aku tidak memiliki perasaan yang sangat khusus. Aku anggap dia sebagai seorang kawan yang baik. Kami selalu pergi dan pulang bersama. Maklum, waktu itu aku belum memiliki kendaraan, sehingga kalau pergi maka dia yang menjemput dan pulang diantar. Pakai kuda besi lagi (motor, istilah yang ia buat), jadi lebih cepat. Kalau dia yang bawa motor, maka aku duduk dibelakang sambil memeluk pinggangnya, seperti orang yang lagi pacaran. 

Kadang kusenderkan tubuhku rapat dipunggungya. Kadang, kalau lagi iseng, kuraba dadanya. Dia merasa geli. Atau kuletakkan tanganku dipahanya. Kadang dia berkomentar "Ntar tegang nih". Aku tertawa. Kalau aku yang bawa motor, maka giliran dia yang suka memegang dada dan perutku. Kalu kami pergi kemall atau rstoran, ia mengandeng pingganku dan aku memegang pundaknya. (karena dia lebih pendek dariku)Aku sangat senang bisa berkenalan dan menjadi teman baginya, tapi bisakah bertahan? 

Dia selalu bercerita banyak tentang kehidupan masa lalunya. Sungguh, kehidupannya penuh dengan wanita. Kulihat dari fisiknya, ia lebih pendek sedikit dari aku, tapi wajahnya tampan. Pantas saja dikejar-kejar. Mirip Andy Lau sih, cuman agak pendek. 

Aku sangat senang jika ada orang yang mau bercerita tentang dirinya kepadaku dan memberikan kepercayaannya kepadaku. Dia melakukannya. Dia bercerita tentang kehidupan masa lalunya saat di Batam dan Singapura. Dia sering bermain dengan banyak wanita, bahkan Tante-Tante maupun pelacur di sana. 

"Wah, anak ini straight banget", pikirku. 

Dia juga bercerita kalau ada kesempatan maka akan melakukannya dengan berbagai tipe wanita didunia. Kami saling bercerita tentang apapun, bahkan sampai ke panjang penis dan jenis CD segala. Wah, tidak ada sesuatu yang ditutupi darinya. Aku berusaha agar ia tidak tahu bahwa aku gay. 

Desember 2000 

Saat itu kami sedang mempersiapkan sebuah acara ke daerah puncak. Aku dan Alex sebagai tim pertama yang harus datang ketempat penginapan. Jadi tim akomodasilah. Jadi kami berangkat pukul dua siang dari Jakarta. Setelah sampai di puncak, kami mempersiapkan segala sesuatunya. Hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku dan dia cukup lelah. 

Kami berbaring di atas kasur. Kulihat dia sedang kecapean. Kulirik wajahnya. Cukup tampan. Entah kenapa aku senang jika berada dekat dengannya Merasa tenang dan damai.. Tapi aku tidak mau menunjukkan perasaanku itu karena aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengubah apa yang sudah kulalui. Kulirik lagi dia. Dia tersenyum. Aku merasa senang. Itulah saat pertama kali kurasakan bahwa aku sangat sayang padanya, bukan karena ketampanannya atau bodynya, tapi karena dia seorang yang baik hati. 

April 2001 

Aku jatuh sakit dan harus masuk rumah sakit karena demam berdarah. Kulihat jam tanganku. Ah, masih setengah tiga siang. Masih lama jam besuknya. Tiba-tiba kulihat seseorang berdiri didepan pintu. Aku langsung tersenyum. Alex! 

"Gimana bos! Enak nggak nginep di rumah sakit?" candanya. 
"Mana enak. Apalagi tiap malem meriang. Kaya mau mati rasanya" seruku. 
"Jangan gitu. Entar aku kehilangan nih. Oh, ya. Aku nggak tahu mau bawa apa? Habis kalau bawa buah takut nggak boleh. Ntar kalau bawa yang laen, kamu malah nggak boleh makan" candanya lagi. 
"Nggak usahlah. Udah dijenguk dan temenin juga syukur. Kok bisa masuk? Kan belum jam besuk?" tanyaku heran. 
"Iya dong, Alex!". Aku tersenyum. Dasar sok jagoan, tapi aku seneng. 
"Kata orang sih kalau sakit ginian minum air yang banyak sama pocari juga" kataku lagi. 

Kemudian kami terlibat dalam pembicaraan. Aku sangat senang karena ia mau menemaniku. Aku tahu ia orangnya sibuk. Saat datang ke Jakarta, ia tidak punya apa-apa. Saat pertama berkenalan dengankupun, ia memiliki banyak hutang karena harus membuka toko di Mangga Dua. Tapi sekarang, usahanya tambah maju sehingga ia sibuk sekali. Dan yang lebih mengherankan lagi, dia orangnya super cuek. Apalagi kalau sama teman-temannya yang lain. Dia kadang tidak peduli dengan keadaan teman-temanku yang lain. Tapi, kenapa denganku tidak? Ia menemaniku sampai jam besuk tiba. Ia bilang kalau sudah ada yang datang untuk menemani aku, dia baru pulang. Thanks man! 

Keesokan harinya ia kembali datang pada jam yang hampir sama dengan kemarin. Aku kaget dibuatnya. Dia bawa pocari yang banyak dan aqua besar beberapa botol. Wah, perhatian bener dia. 

"Pengen buat aku kembung ya?" kataku. 
"Mau sembuh nggak? kalau kagak, diambil lagi nih!" serunya. 
"Oke boss, tengkyu yee" jawabku senang. 
"Oh, ya. Biar malem kamu nggak kesepian dan temenin meriangmu, nih, kubawa walkman sama beberapa kaset". 

Kemudian ia menyodorkan sebuah bungkusan. Didalamnya terdapat walkman Sonny kepunyaannya dan beberapa kaset. Ah, dia memang baik! Kalau saja dia tahu bahwa aku menyukainya. 

Juni 2001 

Kami berdua pergi ke Surabaya dalam rangka menghadiri seminar. Aku dan dia sudah siap-siap di Stasiun Gambir pada jam 8 malam. Kami naik Argo Bromo Anggrek yang memerlukan perjalanan kira-kira 10 jam. Di dalam kereta kami banyak bercerita dan bercanda. Sekitar jam 12 malam kami berdua sudah kelelahan. Sementara AC kereta cukup dingin. Saat itu kami berdua menghangatkan badan dengan saling berdekatan. Badan kami sudah tertutup selimut. Tanpa terasa kepalaku sudah berada dipundaknya, kulihat dia tidak keberatan. 

Akupun tertidur dipundaknya, kereta sudah memasuki stasiun pasar turi. Kulihat jam ditanganku menunjukkan pukul limaan. Kami segera turun dan menuju ke hotel yang memang sudah disiapkan. Sebuah hotel bintang empat. Ah, sebuah kamar yang nyaman dengan sebuah kasurnya yang empuk. Siapa lagi kalau bukan Alex. Setiap melihat kasur yang empuk, ia segera melompat keatasnya, melompat-lompat seperti anak kecil, lalu mengacak-acak tempat tidur itu. Aku tertawa dibuatnya. Setelah itu, ia bersiap untuk mandi. 

Jantungku berdegup saat ia melepaskan seluruh pakaiannya kecuali CD birunya tonjolan di CDnya membuatku tertegun. Dadanya yang bidang membuat darah ini serasa mengalir lebih cepat. Kucoba untuk curi-curi pandang namun takut kalau ia mengetahuinya. Aku hanya menelan ludah. 

Seharian kami berada di luar hotel. Baru pulang lagi saat hari sudah malam. Aku melepas lelah sambil mandi lalu menonton TV. Ia juga sudah selesai mandi. Saat itu rasanya aku ingin tidur. Ngantuk sekali. Kucoba baringkan diri dikasur. Tak lama ia juga baringkan dirinya dikasur. Aku dekatkan kepalaku didadanya. Kembali ia tidak keberatan. Kepalaku ada di atas dadanya. Kepeluk ia seperti guling. Kudekap dan rasanya tak ingin kulepas. Ia diam saja. Kurasakan tonjolan dikedua pahanya. Ah, seandainya dia gay! Aku tidak melancarkan apapun setelah itu. Hanya memeluknya erat. Aku tidak berbuat apa-apa kecuali tidur sampai pagi.
Sepanjang tahun 2001 hingga 2002 kami melakukan banyak hal. Apapun kami kerjakan berdua. Kedekatan kami seperti kedekatan sepasang kekasih. Sangat melekat. Aku tahu sidat dan karakternya, suasana hatinya. Diapun demikian. Dimana ada aku, di situ ada dia. Juga sebaliknya. Jika orang ingin cari aku, maka yang ditanya adalah Alex. Kalau orang ingin cari Alex, maka yang ditanya adalah aku. Setiap pagi malah saling membangunkan lewat telepon. Kami pernah mandi bersama namun tidak pernah melakukan hubungan seks karena kutahu ia straight.. Hanya saling memperhatikan saja. Itupun aku berusaha untuk tidak ereksi.

Sangat sukar! Makanpun pernah sepiring berdua. Atau minum segelas berdua.. Kadang setiap dia punya acara, maka aku yang pasti diajaknya. Aku tetap menghormati dia. Bahkan ia berjanji tidak akan mengulangi segala yang ia lakukan dahulu. Segala petualangan seksnya ingin ia tinggalkan. Aku sangat menghormati keputusannya itu. Ia sangat menyayangiku dan melindungiku seperti seorang Kakak kepada adiknya, sedangkan aku menyayanginya seperti seorang kekasih. Ah, apakah bisa ia menjadi kekasihku?

April 2002

"Gun, aku.. Aku.. Sudah.. Meniduri seorang gadis"

Ia menelpon ku dari Pontianak sambil menangis. Ia merasa telah melanggar janjinya sendiri. Kudengar isak tangisnya diujung sana. Akupun merasa seperti petir menyerangku disiang hari.

"Pulanglah, Lex!", pintaku sedih.
"Aku akan balik segera... Maafkan aku ya" jawabnya pelan.
"Aku maafkan" jawabku sambil menangis.

Juni 2003

Aku bertengkar dengannya. Sebuah pertengkaran yang seharusnya tidak perlu. Aku merasa cemburu karena ia menyukai seorang gadis di Jakarta.. Ia tahu kalau perhatiannya akan terbagi. Dan ia tahu kalau aku cemburu. Tapi aku begitu egois saat itu. Dengan segala cara kucoba agar ia tidak menyukainya. Tapi kusadari, aku sudah terlalu jauh. Akhirnya aku menyerah. Aku merasa akan kehilangan dia. . Sepanjang akhir tahun, aku berusaha untuk menjauh darinya. Setiap malam aku terbayang akan wajahnya. Aku berusaha untuk menyukai seorang gadis. Saat itu aku berusaha mendekati gadis yang belum resmi menjadi pacarku. Namun hanya bertahan 3 bulan. Itu karena aku menjauh darinya. Ketidakjujurannya membuat aku sangat sedih. Ia jatuh dalam pelukan lelaki lain bahkan terjebak dalam drugs. Sesuatu yagn sangat kubenci.

Akupun sempat bertemu dengan teman lamaku dikuliah, seorang wanita yang kutahu kalau dia menyukaiku. Aku menemaninya sampai malam hari untuk berkeliling Jakarta. Tengah malam, ia memintaku untuk ke Ancol. Aku tahu maksudnya. Kutolak halus karena memang aku tidak memiliki perasaan apa-apa. Apalagi dia masih gadis. Polos. Aku coba untuk menghilangkan perasaanku pada Alex maupun kekecewaanku pada mantanku hingga aku coba jajan ke panti pijat dengan seorang teman di daerah Pangeran Jayakarta.

Seorang wanita muda yang cukup cantik dan seksi, memakai baju yang sangat minim dengan tarif yang lumayan mahal, "Enam ratus ribu hanya untuk 2 jam", pikirku.

Aku sudah telanjang didepannya. Tongkat kebangganku tidak mau bangun. Sial, kucoba untuk berpikiran yang jorok-jorok. Sementara wanita tersebut mulai memijitku dan meluluriku. Badannya seksi tapi kenapa aku tidak bisa meresponnya. Akhirnya tongkat itupun bangkit dengan susah payah. Tapi kembali lemas. Begitu terus hingga akhir sesi. Wanita itu hanya tersenyum. Sepanjang sesi itu, aku hanya pasrah dengan pijatan dan rabaannya. Aku nggak bisa berbuat apa-apa. Kudengar, temanku sudah ber 'aha uhu' disebelah. Wah, sia-sia nih.

Aku pulang sambil menangis. Kutelepon Alex. Kuceritakan kalau aku sudah pergi kepanti pijat. Dia kaget. Dia menyuruhku agar tidak mengulanginya lagi. Tapi dia tertawa saat kukatakan bahwa aku tidak bisa tidur dengan wanita itu, bahkan isi kantungkupun habis.

Januari 2004

"Gun, papaku meninggal"

Aku tersentak. Segera aku menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Di sana sudah banyak kerabatnya. Segera kuhubungi seluruh teman kami. Saat kudatang kerumah sakit, ia memelukku sambil menangis. Kucoba untuk menenangkannya. Dia memelukku dengan lebih erat. 'Takkan kubiarkan kau menangis. Takkan kubiarkan kau terkikis. Maafkan segala sikapku selama ini. Maafkan aku, bukan maksud untuk melukaimu dengan segala ucapanmu' Kulihat disudut ruangan, kekasih Alex yang juga datang.

Dirumah duka, aku diajak menemui mamanya.

"Ma, ini Gunawan. Temen baik Alex" katanya.

Aku sudah mengenal seluruh keluarganya, tapi belum mengenal mamanya karena baru datang dari Singkawang.

"Sekarang Mama punya satu anak lagi" katanya sambil menarikku kearah mamanya. Ya, ia sudah menganggapku sebagai Adik dan sahabat terbaiknya.

Maret 2004

Aku hanya bisa tersenyum pahit saat Alex memintaku untuk menjadi best friendnya saat ia akan menikah. Kucoba untuk tutupi kerisauanku. Kukatakan, aku bersedia. Dalam hati aku menangis sedih. Hati ini seperti kena batu godam yang besar. Hancur berkeping-keping. Malam itu, sebelum hari pernikahan tiba, aku dan Alex berada dihotel untuk persiapan. Aku sangat terpukul karena sesungguhnya aku mencintainya, bukan sebagai Kakak, tapi lebih dari itu. Saat kami tidur bersama, tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku hanya berusaha untuk tidur. Tidak seperti dahulu, kalau tidur kami sering berpelukan.

"Meskipun perih, kau tetap selalu ada didada ini."

Setelah ia menikah, aku jarang pergi bareng lagi dengannya. Aku berusaha untuk menjaga jarak. Aku tidak mau menghancurkan kehidupan orang yang aku sayangi. Ia selalu berusaha untuk mengajakku jalan-jalan atau makan bersama atau nonton, tapi dengan istrinya juga. Jadi kami berjalan bertiga. Maafkan aku Alex! Aku merasa cemburu bila kau tak sendiri.

****

Tak seharusnya kita berjumpa
Karena diriku masih mencinta
Maafkan sikapku
Lupakan salahku itu
Aku menahan marah, rindu dan egoku

****

10 Juli 2004

Pagi itu aku beringsut dari tempat tidurku. Hampir setiap malam aku termenung, meratapi apa yang sedang terjadi dalam hidupku ini. Bahkan hari itu aku hanya tidur 2 jam. Aku bertekad untuk mengungkapkan apa yang kupendam ke Alex.

"Punya waktu nggak pagi ini" tanyaku kepadanya.
"Punya dong, apalagi buat temanku ini" jawabnya.

Kami mncari tempat yang kosong di McD, waktu masih menunjukkan pukul setengah sembilan. Jadi masih sepi. Kupesan hamburger dan minuman. Ia sendiri tidak makan.

"Maafkan aku, Lex"
"Ada apa?"

Aku diam, lalu menangis didepannya seperti anak kecil. Kemudian kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia menatapku. Aku tak bisa menatapnya.

"Lex, aku sangat sayang padamu. Lebih dari itu.." aku terdiam dan kembali menangis.
"Aku tahu kalau kamu sayang padaku. Aku tahu kalau kau suka samaku. Aku tahu segala perhatian dan kebaikanmu. Aku tahu apa yang ada didirimu. Tapi, aku bukanlah orang yang suka dengan sesama jenis. Gun, kau sudah kuanggap Adik dan aku tetap melihatmu sebagai lelaki normal. Aku hanya ingin kau normal, Gun."

Ia memelukku, lalu menggandengku seperti yang pernah dilakukannya dahulu.

"Berusahalah agar kau bisa keluar dari masalahmu. Aku akan terus membantu. Bulan Agustus kita akan jalan-jalan. Ok. Kita ke Batam, lalu jalan-jalan ke Singapura. Kita bisa menginap dirumah pamanku" katanya lagi.

Aku sudah menerima kenyataan kalau aku gay. Tapi didepannya aku berusaha untuk tegar. Tidak mau menyakiti hatinya. Namun aku berjanji tak akan menemuinya lagi.

****

Aku masih di sini
Mendekap hampa dihati
Hingga kini menghantui
Tentang arti hidup ini

Waktu terus berputar
Tanpa bisa menawan
Manisnya sgala sanjung puji
Menjadi pahit caci maki

Segala yang terjadi dalam hidupku ini adalah sebuah misteri ilahi
Perihnya cobaan hanya ujian kehidupan
Lelah kaki melangkah
Sesat tiada arah

Suara hati semakin lemah
Terkikis oleh amarah
Sesaat aku tersentak
Ingin rasanya berteriak

Masihkah ada cinta tersisa
Untuk jiwa yang terlunta

****

Saat aku menulis cerita ini, ia kembali meng"SMS"ku.

"Lapangkanlah hatiku yang sesak dan keluarkanlah aku dari kesulitanku! Tiliklah sengsaraku dan kesukaranku dan ampuni segala dosaku" Akupun menangis. Alex, maafkan aku! Sekarang aku hanya berharap menemukan seseorang yang tepat untuk mencintaiku. Dan mau mengerti aku apa adanya.

*****

Catatan Penulis

Kisah ini menjadi jawaban bagi seluruh teman-teman yang sudah bertanya. Thanks. Sejak aku menulis kisahku yang pertama, sampai-sampai aku harus menjawab email yang jumlahnya naik empat kali lipat. Wah, sampai malem tuh jawabnya. Tapi thanks mau kirim email. By the way, aku berusaha untuk membalas, kecuali email yang berisi virus. Dan untuk teman yang ngajak "ML", terima kasih atas ketertarikan kalian, tapi aku bukan tipe gay yang mengutamakan seks, maaf ya. Kita harus kenalan dulu. Dulu mungkin aku tertarik dengan body dan seks. Sekarang itu jadi nomor dua. Dan aku nggak mau segala yang pedih kembali berulang.

Yang ingin bertanya, silahkan email, ada beberapa kisah yang aku nggak akan muat di sumbercerita.com, karena hal itu menyangkut murid-muridku. Seluruh nama di atas sudah aku samarkan.

"Orang yang terbaik bagimu adalah dia yang mau berkorban untukmu dan mau menerimamu apa adanya dan selalu mendukungmu. Jadilah orang terbaik bagi seseorang yang kau cintai" 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar