Kamis, 19 Juli 2012

Bodyguard

"Tom, kau dipanggil Boss," kata Ronald teman seruangku. "Ada apa ya, Ron?" tanyaku sekenanya. Kumasuki ruang Bossku yang luas dan nyaman. Dihadapannya ada dua orang tamu pria yang sedang berbincang dengan Boss. "Oh ya Tom, ini kenalkan Bapak Edward dan yang ini Bapak Kris. Tugasmu adalah mendampingi mereka selama 2 minggu kunjungan di kantor ini. Pokoknya coba bantu sepenuhnya segala keperluannya. Be carefull, okey!" kata Bossku. Aku tidak bisa tanya atau menolak keinginannya. Pokoknya kerjakan saja, pasalnya Bossku itu mantan tentara. Selama tugas luarku, aku bebas dari kerjaanku sehari-hari. Ternyata Mr. Edward dan Mr. Kris adalah orang dari Kantor Pusat yang bertugas melakukan inspeksi. Kami semua repot dibuatnya. Tapi aku harus memberikan pengawalan kepada mereka berdua. Suatu saat aku terpaksa harus kembali ke apartemen untuk mengambil tas kerja Mr.Edward. Dengan tergesa-gesa aku menuju ruang tidurnya. Kubuka lemarinya dan kuambil tas tersebut, tapi aku tiba-tiba terperangah melihat sebuah majalah pria bule bugil di dekatnya. Pikiranku segera paham tentang siapa Mr.Edward itu. Tapi sebagai utusan perusahaan aku tidak boleh mempermasalahkan hal itu. Aku segera bergegas ke tempat rapat di sebuah ruang VIP di hotel besar di Kuningan. Malam Minggu aku bebas dari tugas, karena bisa dibilang tugasku 24 jam selama 5 hari kerja mendampingi mereka berdua. Malam sudah larut, namun tiba-tiba HP-ku memanggil. Itu pasti panggilan tugas, karena untuk mendampingi mereka aku khusus disediakan HP dinas dan mobil sedan. "Selamat malam, Pak. Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku sopan. "Ma'af, ini rumah Bapak Tommy?" tanya seseorang yang suaranya tidak kukenal. "Betul, Pak. Ada kabar apa, Pak?" tanyaku lagi. "Ma'af, apa Pak Tommy bisa kemari (ia menyebutkan nama hotel dan ruangnya) karena ternyata rekan bapak perlu diantar pulang." lanjutnya. Aku segera menuju ke sana. Ternyata mereka berdua sedang dalam kondisi setengah mabuk, dengan wajah yang sayu dan terbaring di sofa restroom. Setelah mereka yakin bahwa aku adalah yang dihubungi, maka aku dibiarkan saja di ruang itu. "Terima kasih Pak," kataku pada seorang satpam yang ternyata tadi menghubungiku. "Saya antar mereka berdua pakai mobilku saja. Saya titipkan mobil mereka di sini, bisa nggak?" tanyaku pada satpam tadi. "Beres, Pak. Nanti saya uruskan." Ia segera kuberikan kunci mobil yang tadi ada di kantong Mr. Kris. "Tolong saya dibantu memapah mereka ke mobil," pintaku. Si satpam dengan sigap membantu memapah mereka satu persatu. Setelah memberi tips kutinggalkan hotel tersebut. Sambil mengemudi kunyalakan lagu klasik. Sekali lagi aku terkejut manakala Mr. Edward memegang tanganku. Rupanya ia sudah hampir pulih kesadarannya. "Ini di mana Tom?" tanyanya, dengan bau alkohol yang tajam. "Dalam perjalanan pulang, Pak. Tadi Bapak minum berlebihan sehingga saya harus antar Bapak pulang," jelasku perlahan. "Thanks Tom," lalu ia tertidur lagi. Giliran di hotel, mereka aku minta bantuan bagian keamanan memapah mereka ke ruang masing-masing. "Tom, tolong gantikan pakaianku," pinta Mr.Edward. Segera aku beranjak memilihkan pakaian kimono untuknya. Kulepaskan satu persatu pakaiannya yang basah oleh keringat dan tercium bau parfum "GUFO" bercampur alkohol. Kutinggalkan pakaian dalamnya yang berwarna hitam dengan lambang "G. Versace", amat kontras dengan kulitnya yang putih bersih dan bulu-bulu lebat di dada dan seluruh tungkainya. "Tom, tolong dibasuh dulu dengan air hangat," katanya masih setengah mengantuk. Akupun melakukannya. Dengan air hangat dan handuh halus perlahan kuusap-usap wajahnya pertama kali. Tampak olehku wajahnya yang tampan dan bersih tapi masih maskulin. Perlahan gerakanku bergerak ke bawah dan membasuh dadanya yang bidang. Posturnya proporsional walaupun tidak terlalu dilatih baik. Pasti banyak wanita yang mengandrunginya, kataku dalam hati. Tapi aku ingat pengalamanku tempo hari. Ah, bukan urusanku. Akhirnya aku selesai membersihkan bagian depan tubuhnya. Segera kubalikkan tubuhnya dan sedikit terkejut, ternyata punggungnya pun ditumbuhi bulu-bulu cukup lebat sampai setengahnya. Seksi sekali dia! Kubasuh tubuhnya perlahan seakan takut membangunkan dirinya hingga seluruhnya. "Tom, tolong gantikan jockeyku," tiba-tiba ia mengagetkan aku lagi dengan permintaannya. "Baik, Pak," kataku singkat saja. Perlahan kutarik tali kecil CD-nya dan tampaklah kedua pinggulnya yang bulat dan ditumbuhi bulu dicelah pahanya sampai kesekitar "asshole"-nya. Lebat bulu-bulunya menghalangi pandangan mataku untuk dapat menikmati asshole-nya. Ah, seandainya.. pikiran nakalku menari-nari menggodaku. Segera kupupus pikiran itu. Tapi aku tak kuasa menahan laju gerakan otomatis dibalik CD-ku, yang secara pasti mulai tumbuh membesar. Akh, aku harus menahannya. Karena pinggulnya belum kubasuh, maka dengan handuk hangat kubasuh perlahan. Kurasakan ia menggerakkan tubuhnya memeluk guling dan menarik sebuah kaki kanannya ke atas. Akh, tampaklah asshole-nya yang kemerahan menantang gairah nafsuku. Dan aku terkejut manakala kudapati tatoo kecil didekat asshole-nya bertuliskan "Please.." yang tertutup oleh lebatnya bulu-bulu tubuhnya. Membaca tatoo tersebut membuatku mulai berani bertindak lebih jauh. Kini usapanku bukan lagi untuk membersihkan tubuhnya, melainkan memberikan rangsangan nakal di daerah yang selalu menjadi daerah idamanku selama ini. Kuambil lotion dan kupijat dengan teknik pijat gaya pijatan cinta yang pernah kupelajari dari sebuah buku. Kurasakan pinggulnya mulai bergerak perlahan merespon gerakan tanganku. Pinggulnya mulai terangkat dan kudengar bibirnya memanggil namaku pelan. Aku pun paham isyarat itu. Kini pijatanku mulai meluas ke bagian atas tubuhnya, pundaknya, lehernya, bahunya dan seterusnya. Lidahku dengan lihainya memberikan rangsangan di belakang telinganya. Ia mengerang dan menarik leherku dan menciumku dan melumat lidahku dengan ganasnya. Bau alkohol sudah tidak terasa olehku. Aku pun membalasnya dengan tak kalah hot-nya. Ia membalikkan tubuhnya dan menarikku di atasnya. Kami berciuman cukup lama sampai kami hampir kesulitan bernafas. Aku lalu bangun dan mulai membuka kancing kemejaku. Ia tampak mengagumi otot-otot tubuhku yang keras terlatih. Kini aku berada di pangkuannya dan kurasakan batang kemaluannya mengarah ke atas menggesek kemaluanku yang berontak ingin bebas. Sekali lagi kami berciuman dengan hot. Hanya desah nafas kami yang terdengar di ruang itu diiringi keringat yang banjir walaupun AC ruangan itu amat dingin. "Tom, aku butuh kau. Please, Tom," ia merengek manja di teligaku. "Tapi Mr. Ed.." ucapanku dipotongnya dengan meletakkan sebuah jarinya di bibirku. "Jangan panggil aku begitu saat ini. Panggil saja dengan "Sayang", Tom. Edward ada di kantor saat ini, yang ada saat ini adalah aku apa adanya. Aku yang membutuhkan belaianmu, kehangatanmu, tubuhmu, cintamu. Lain tidak," katanya lembut. "Lepaskan pakaianmu semuanya, Tom. Aku ingin menikmatinya." Perlahan aku turun dan kulepas pakaianku. Kulihat tatap matanya hendak melahapku. Ia menarikku dan kuhampiri dirinya hingga kini aku duduk di atas dadanya dan ujung batang kemaluanku berada persis di depan wajahnya. Kupandangi wajahnya yang tampan dengan lahapnya melumat batang kemaluanku. Tak kusangka ia berusaha menelan seluruhnya, namun ia tiba-tiba "choking". Tampak air mata mengalir di pipinya, mungkin menahan rasa ingin muntahnya. Kutahan wajahnya agar tidak melalakukannya lagi. "Tom, kau ingin menyetubuhi aku?" tiba-tiba ia bertanya dengan lembut. Aku menggeleng dan segera aku beringsut melakukan manuver lembut dengan memakai lidahku, bibirku dan belaian tanganku yang lembut mulai dari bagian atas tubuhnya. Amat perlahan sehingga aku berulang kali mendengar namaku dipanggilnya karena sensasi nikmat yang dirasakannya. "Tom, aku tak tahan. Tom.. Tom.." Aku tak pedulikan itu. Yang ada dalam pikiranku adalah kenikmatan tertinggi buatnya dan buatku malam itu. Berkali-kali ia mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi dan membuka lebar belahan pahanya untuk memberi kesempatan padaku. Namun kubiarkan saja, malah kulakukan ciuman lembut dan gigitan kecil di betisnya dan kakinya yang berbulu lebat. Ibu jari kakinya kuisap pelan dan lembut. Erangannya makin menggila. Setengah jam kuperlukan untuk menikmati keindahan tubuhnya dan sekaligus merangsangnya. Kubalikan tubuhnya perlahan dan ia pasrah total. Dan kini seranganku menjelajahi bagian tubuh belakangnya. Kadang kugigit dan kutarik bulu-bulunya dan ia mengerang manja dan memanggil namaku. Lidahku kini mulai membelai asshole-nya, dan diangkatnya pinggulnya setinggi mungkin sehingga aku dengan leluasanya menikmati lubang idamanku. Kujulurkan lidahku ke arah asshole-nya dan kugelitik tepi lubangnya. Kusibakkan bongkahan pinggulnya nan putih indah dan kuremas, kugigit lembut. "Gigit yang keras Tom. Keras, keras sekali," pintanya. Kulakukan permintaanya dan tampak kulit lembutnya kemerahan jadinya. "Nikmat Tom, terus Tom." Tampak dia menikmati belaian lidahku di lubangnya sambil terus mengerang-erang. "Tom aku nggak kuat, nggak kuaatt, Tom." Kubiarkan ia mengerang nikmat. "Please.. Tom. Aku menginginkannya, Tom." "Aku ambil jelly dulu sayang," kataku lembut. "No, no, no! Aku ingin merasakannya apa adanya. Please, Tom." "Kau akan sakit nanti, sayang.." Ia menggeleng sambil menatapku ke belakang. "Fuck me, please.." katanya. "Ini akan lama sekali, bolehkan?" tanyaku. Ia menggumam. "Kalau kelamaan nanti kutinggal tidur lho, Tom," katanya menggodaku. Kini kuangkat sedikit pinggulnya untuk memudahkanku memasuki tubuhnya. Ia menurut dengan pasrahnya. Batangku yang kehitaman berurat kutempelkan di asshole-nya dan siap menyerang. Kugeser-geserkan dulu di sekitar lubangnya. Ia menggerakan pinggulnya berusaha mencari glans-ku dengan tak sabarnya. Kumainkan agar dia penasaran. "Please, please, fuck me..Jangan lagi kau sisksa aku, Tom." Setelah puas melihatnya menantiku, mulailah penetrasi batang kemaluanku. Ternyata sulit ditembus, dan ia kesakitan. "Teruskan Tom, aku pasrah padamu." Kulakukan penetrasi lagi dan kini glans-ku yang merah maroon lenyap dalam tubuhnya. Kulihat ia menggigit bantal keras-keras dan keringat keluar bagai banjir di punggungnya. "Kau kesakitan sayang. Aku nggak mau menyakitimu, Say.." kataku menggodanya. "No, please. Fuck me, do'nt stopping fucking me, Tom." Seiring dengan berakhir ucapannya kubenamkan dengan keras seluruh batangku. Ia teriak keras kesakitan. Tampaknya ia tak menyangka serangan yang mendadak. "Go, go, go, Tom." Dengan keras kukeluar-masukkan batangku berkali-kali dan kulihat batangku kini mengkilat indah. Kuciumi lehernya dengan lembut sambil kuhentakkan terus-menerus pinggulku ke arahnya dan ia tidak mungkin menghindarinya karena pinggangnya kupegangi erat-erat. Kini kami berganti posisi ia menghadapku dan tusukan kerasku berlanjut. Kusetubuhi lagi tetap dengan keras dan terus-menerus. Ia mengerang-erang kadang teriak sambil menarik-narik rambutnya. "Tom, oh thanks Tom.. More, more.. please.." Kurasakan spermanya berhamburan ke perutku, dadaku dan perutnya. "Tom, habis sudah spermaku." Ia menunjukkan dua jari tangannya sebagai tanda ia mencapai puncak. "Masih lama Tom?" tanyanya. "Aku lelah sekali, tapi nikmatnya nggak dua." Aku senyum saja sambil terus mengacungkan batangku di asshole-nya. Kadang aku perlambat seranganku sambil kukecup dalam bibirnya. "Masih lama, Tom? aku ketiduran lho nanti," katanya. "Boleh aku melanjutkan Sayang?" tanyaku. Ia mengangguk. Aku baru tersadar dan tidak tahu kalau Mr. Edward sudah tertidur, karena sayup-sayup kudengar dengkur halusnya saat aku masih melakukan serangan bertubi-tubi. Aku tak tahu bila ia tertidur karena saat itu sebuah kakinya kuangkat dan ia dalam posisi miring ke kiri. Aku tidak peduli karena ia sudah memberiku izin. Dan aku masih dapat merasakan remasan asshole-nya pada batangku sebagai pertanda dalam tidurnya pun ia masih merespon serangan rudalku. Cukup lama aku menari di dalam tubuhnya, sampai aku mulai merasakan lahar spermaku akan keluar. "Sayang, terimalah hadiahku ini. Ohh.." Lega rasanya saat spemaku keluar dan rasanya aku tidak di bumi. Kucabut segera batangku yang masih mengeras dan segera kuselimuti tubuhnya dengan selimut tebal setelah sebelumnya kukeringkan keringatnya yang bak banjir itu hari menjelang pagi. Kulihat bibirnya yang indah tersenyum kecil. Tiba-tiba phone di sebelah tempat tidur berbunyi. Saat kuangkat kudengar suara Mr. Kris di seberang sana. "Tom, giliran aku kapann..?" goda Mr. Kris. "Besok bisa nggak..?" Aku diam saja. "Gila gua dikerjain rupanya!" Belakangan aku jadi malu saat aku tahu mereka memasang mike kecil di bawah meja di samping tempat tidur Mr. Ed. Kokok ayam mulai terdengar saat aku meninggalkan hotel itu.

Bobby dan Om Bagus

Ini adalah suatu episode yg terhapus dari rangkaian sinetron Bidadari 2 yang ditayangkan di RCTI. Karena ini merupakan episode terlarang, tentu saja, yang hanya akan bisa dinikmati di sini. Ceritanya adalah ketika Bobby, mau main ke rumah Lala. By the way, Bobby adalah seniornya Lala di SMP, dengan tampang bule dan bodi yg cukup keren buat cowok umur segitu, dan dia ngeceng Lala .. nama pemerannya saya lupa. Anyway, sampai di sana, ternyata Lala sedang pergi bersama Mamanya dan Bombom, kakak tirinya. Rupanya mereka lagi jalan2 ke mall atau ke mana. Kebetulan waktu itu hari Sabtu, dan libur pula. Di rumah Lala cuma ada Om Bagus, papanya Lala (yg diperanin ama Marcelino Lefrandt), yang kebetulan lagi berenang. Satpam ama Ijah lagi nggak ada juga, pulang kampung deh ceritanya. Akhirnya Bobby ketemu Om Bagus, setelah ngebel pintu. Om Bagus buru2 dateng, sambil hanya mengenakan handuk dilingkarkan di pinggangnya. Badannya yang putih, kekar, dan atletis itu nampak jelas. Belum lagi karena masih basah keliatannya jauh lebih keren dengan tampangnya yang emang ganteng itu. "Lala-nya ada, Om?" tanya Bobby. "Wah, Lala sedang pergi sama Mamanya dan Bombom." jawab Om Bagus. "Oh, ya udah deh, nggak apa2." kata Bobby. "Atau mau nunggu aja di dalem? Mungkin sebentar lagi mereka pulang." Om Bagus menawarkan. "Boleh Om, kalo nggak ngerepotin." jawab Bobby. "Oke deh, masuk aja. Atau mau berenang juga, nemenin Om?" tanya Om Bagus, basa basi mungkin ya? "Wah, boleh juga tuh. Kebetulan udah lama nih Bobby nggak berenang. Padahal Bobby suka banget berenang." jawab Bobby langsung. Kayaknya si Bobby selain wajahnya yg kebule2an, sifatnya juga kebule2an tuh. Soalnya kalo ngomong nggak pake basa-basi lagi. To the point langsung kayak gitu. Om Bagus yang udah terlanjur nawarin, dan tawarannya udah diterima, ya langsung mempersilahkan Bobby masuk aja. Sampailah di kolam renang. Ya, Bobby tinggal menanggalkan baju yang dia pake aja biar bisa renang. Dia copot kaos dan celana jeansnya. Dan nampaklah bodi anak SMP itu. Tampak nih anak udah ngelewatin masa akil balighnya, .. badannya udah terbentuk bagus, otot tangan, biseps, dan tricepsnya udah keliatan terbentuk. Dadanya juga bidang, dengan puting yg coklat merekah di tubuhnya yang putih mulus. Bulu kakinya juga sudah tumbuh. Begitu juga bulu ketiaknya yang tumbuh tipis. Pasti jembutnya juga udah tumbuh. Om Bagus memandang sejenak badan Bobby. Dia kagum juga, anak seumur Bobby udah bisa seksi gitu. Soalnya Bombom (anak tirinya) badannya gemuk abis gitu. Makanya pas liat daun muda dengan tubuh sekekar itu, Om Bagus terkesima juga. Kini giliran Om Bagus yang melepas handuknya. Dia kini hanya memakai celana renang ketat warna biru. Bobby pun memandang tubuh Om Bagus yang emang bagus itu. Putih, tinggi, kekar, dengan otot yang sempurna di bagian dada, tangan, paha, dan belum lagi pantatnya yang gempal menonjol itu. Dan yang pasti nggak akan ketinggalan adalah penampakan di dalam celana renang biru itu dari depan. Apalagi kalo bukan si kontol yg lagi tidur, tapi udah keliatan nonjol itu? "Badan Om keren juga ya? Sering fitnes, Om?" tanya Bobby yg emang ngomongnya ceplas ceplos gitu. "Makasih. Iya, lumayan nih, kalo senggang kan Om suka renang, taekwondo, ama fitnes. Ngomong2 badan kamu juga bagus kok!" jawab Om Bagus. "Makasih deh Om. Iya, Bobby juga suka renang. Wah, kalo rajin fitnes udah mahir dong? Bobby sih belon pernah fitnes, paling olahraga biasa aja. Ajarin Bobby dong, biar badannya bisa bagus kayak Om?" kata Bobby lagi. "Boleh deh! Tapi Om yakin badan kamu bisa lebih bagus dari Om." jawab Om Bagus. Udah itu mereka berdua langsung nyebur. Berenang deh mereka. Seru juga, mulai dari balap2an, sampe cuman sekedar berenam sambil ngobrol. Ternyata mereka berdua kalo ngobrol bisa nyambung, mulai dari olahraga, sampe serial TV yang suka mereka tonton. Tiba2 telepon rumah berdering. Om Bagus langsung ke dalam dan menjawabnya. Ternyata dari istrinya. Dia bilang, dia ketemu temen2 lamanya, dan minta izin buat bermalam di Puncak, karena kebetulan ada acara kumpul2 yang mendadak, dan anak2 ikut, karena ada acara anak2nya juga, pulangnya hari Minggu Sore. Om Bagus ngizinin. Om Bagus juga diajakin buat nyusul, tapi Om Bagus nolak, katanya masih capek, mo istirahat aja di rumah. Nggak tau deh, apa emang capek atau karena ada Bobby. Setelah nerima telepon, Om Bagus bilang ke Bobby kalo Lala nggak akan pulang sekarang, pulangnya besok sore. Ya, dibilang gitu, Bobby mo pamit pulang aja. Tapi nggak enak juga nih, soalnya celana dalemnya kan basah. Om Bagus juga nyadar, tapi nggak tau mesti gimana, soalnya kalo minjemin punya Bombom, pasti kegedean. Punya dia sendiri juga pasti kegedean. Ya, akhirnya Bobby minta ijin aja buat jemur celana pendeknya itu, soalnya kebetulan hari itu lagi panas. Sementara itu dia pake handuk aja kali ya? Pas Om Bagus kembali ngambilin handuk buat dipinjemin ke Bobby, Bobby yg emang cuek itu udah ngebuka celananya dan ngejemur celananya di tiang kolam renang situ. Om Bagus lumayan terhenyak, liat Bobby yg kini telanjang bulat di depannya. Makin keliatan jantan aja. Gimana enggak, ternyata kontolnya gede juga, ampir sama ama punya dia sendiri. Padahal Bobby kan masih puber, itu kontol kan pasti bakalan tumbuh dan ngegedein lagi. "Lho, kok Om bengong?" tanya Bobby. Akhirnya Om Bagus ngedeketin Bobby dan bukannya ngasih handuk, handuknya malah dijatuhin. Entah sengaja, entang nggak, sangking kagumnya. "Eh, punya kamu gede juga ya?" kata Om Bagus. "Masa sih? Tapi masih kalah kali ama punya Om." jawab Bobby. "Ah, enggak. Punya Om malah gedenya ampir sama ama punya kamu." kata Om Bagus lagi, sambil ngedeketin Bobby, dan mulai mengusap kontol Bobby. Lagi tidur aja tuh kontol anak bule udah segede gitu, gimana kalo lagi 'bangun' ya? Diusap2 ama Om Bagus, si Bobby lumayan terangsang juga. Abis ternyata enak, diusap orang lain. Apalagi yang ngusapnya good looking. Enak diliat. Ganteng, tinggi, putih, gagah, dan atletis kayak Om Bagus. Bobby yang emang sebenernya masih innocent itu tampak nggak tahan dirangsang segitu aja. Langsung bangun deh tuh titit. Om Bagus yg posisinya di samping Bobby makin deket ama Bobby. Bibirnya pun makin deket ama bibir Bobby selama kegiatan ngusap2 gitu. Akhirnya bibir Om Bagus pun mendarat di bibir Bobby dan memberikan ciuman pertamanya, yang tampak merupakan ciuman pertama sesama pria bagi keduanya. Entah nafsu setan apa yang merasuki Om Bagus, ngeliat Bobby yang telanjang bulat gitu, nafsunya semakin menjadi. Ciumannya semakin dahsyat. LidaHPun bermain, lidaHPun digigit. Om Bagus emang udah piawai soal ciuman, kan sering praktek ama istrinya. Sementara Bobby yang dikasi servis kayak gitu sama orang yang pro langsung keenakan aja. Dan nih anak emang lumayan curious juga, jadinya kini mereka berhadapan, berciuman, di mana Om Bagus memeluk Bobby sekalian meremas pantat Bobby itu, dan si Bobby menjelajah badan Om Bagus. Mulai dari meraba dadanya, memainkan dan mengusap putingnya, sixpacksnya, until he brave enough buat ngecek 'benda' yang ada di balik celana renangnya Om Bagus. Pertama Bobby cuman mengusap dari luar, dan kini udah berani masuk ke dalam celana biru itu, dan memegang si kontol Om Bagus yg emang gede juga, seukuran ama punya dia, dan udah sedikit basah ama pre-cum. Sensasi yang diberikan Bobby dengan memegang kontolnya bikin Om Bagus keenakan juga. Dia pelorotin celana renangnya, dan kini mereka berdua telanjang bulat. Om Bagus nuntun Bobby ke kamarnya. Dua cowok putih mulus berbadan atletis itu jalan bergandengan ke kamar. Setiba di kamar, malah Bobby yang agresif. Dia yang mendorong Om Bagus ke ranjang. Dan dia yg berada di atas. Mereka berpelukan dengan penuh nafsu. Berciuman sejadi2nya. Tak lupa, tangan Bobby yang menjamah batang kemaluan Om Bagus yang lagi tegang2nya. Om Bagus pun nggak mau kalah, dipegang, diremas, dan dikocoknya punya Bobby. Mereka terus bergumul sambil mendesah dan menggelinjang keenakan. Bobby kini memutar badannya, sehigga mereka dalam posisi 69 di mana Bobby tetap di atas. Diseponglah bonggol Om Bagus. "Mmmh, mmh, mmh!" hanya itu yg terdengar dari Bobby. "Hmm, mmh, mmh .. hh!" Om Bagus juga mendesah keenakan karena disepong Bobby sementara diapun menyepong Bobby. Bobby emang udah nggak kuat lagi, dikasih enak segitu rasanya udah nggak tahan. "Hhh, .. Om, enak Om, .. thapi udhah mau kelhuar nhih!" kata Bobby. Om Bagus langsung mengubah posisinya. Kini Bobby duduk di ranjang, dan Om Bagus mulai menyepong Bobby lagi. Kali ini lebih dahsyat, lebih ganas, lebih nikmat. "Aaah, .. aahh, .. Om udah Om mo keluar nih!" kata Bobby sekalilagi. Kelihatannya Om Bagus emang sengaja biar Bobby keluar di mulutnya. Sepongannya makin hebat lagi dan .. CROOTH, .. crot, crot, crot .. sperma Bobby menyembur keluar dari lubang kontol ke dalam mulut Om Bagus. Semburannya kenceng juga, sampe langsung masuk tenggorokan. Semburan mani Bobby sampai beberapa kali. Om Bagus sedot sampai habis. "Hhh, hh, hh!" Bobby yg udah lewat klimaksnya tersengal-sengal. Kini giliran Om Bagus yg pengen enak. Padahal bisa menelan sperma Bobby yg innocent ini juga udah kenikmatan yg luar biasa ya? Kini kontol Om Bagus yang udah ngaceng berat ini pengen lubang. Yah, namanya juga udah pengalaman jadi suami, jadi udah tau, paling oke buat bikin enak kontol yah lewat lubang. Kini Bobby disuruh nungging. Dengan doggy style, Om Bagus mulai ngelicinin kontolnya dengan ludahnya yang udah bercampur maninya Bobby. Dimasukannya pelan2 ke dalam lubang pantat Bobby. Bless .. "Aaah!" rintih Bobby. "Tenang aja Bob, nanti juga lama2 enak!" kata Om Bagus. Bobby sih percaya aja. Lagian kapan lagi dientot bapak muda seganteng dan segagah Om Bagus. Bobby pun pasrah, sementara Om Bagus melancarkan penetrasi nikmatnya. Kontolnya dengan gagah merojok pantat Bobby. Gerakan maju mundur yg dilakukan Om Bagus ternyata bener bisa bikin Bobby enak. Kini Bobby menikmati sekali entotan Om Bagus. Om Bagus juga keenakan ngentot pantat perawan Bobby. Dan ternyata lebih enak daripada ngentot istrinya selama ini. Dikasih nikmat segitu juga Om Bagus nggak tahan. Maka CROOTH, crot, crot, crot .. muncratlah cairan hangat di dalam pantat Bobby. Cairan kejantanan Om Bagus kini udah ada di dalam pantat Bobby. Buat Bobby sih rasanya hangat, enak .. Dikasih enak gitu. Bobby kerangsang lagi. Om Bagus cepat tanggap. Kini Bobby duduk dipangkuan Om Bagus, tapi Bobby membelakangi Om Bagus. Dipeluknya Bobby dari belakang sementara Bobby ngocok kontolnya sendiri, sampe kepalanya merah dan licin. Om Bagus juga bantuin ngocok dan terus menggerayangi Bobby. Sampe deh Bobby ke klimaks lagi. "Oooh, yeaah ..!" seru Bobby keenakan. Gimana nggak enak, selain pas klimaks Bobby ngocok kontolnya. Om Bagus mainin pentil Bobby dari belakang. Diserang rangsangan senikmat itu, CROOTH .. muncrat lagi lahar dari kontol Bobby. Muncrat ke dada Bobby. Dan Bobby pun benar-benar lelah. Lelah karena keenakan. Om Bagus kelihatannya nggak mau kelihangan kesempatan menelan sperma Bobby lagi. Dijilatinya dada Bobby sampai nggak ada sisa lagi. Yah, selain enak, juga untuk meminimalisir barang bukti apabila istrinya pulang nanti. Mereka berdua berbaring dan berciuman. Saling berterima kasih buat saat yang menyenangkan itu. Bobby bisa merasakan kejantanan seorang bapak muda yang ganteng dan gagah, sementara Om Bagus bisa merasakan kejantanan pemuda innocent dengan kontol yg udah sebesar punya dia pada usia semuda itu. Mereka berbaring, saling berpelukan, dengan perasaan nikmat, nyaman, dan lega .. karena tahu, kalo keluarga Om Bagus nggak akan pulang sampai keesokan sorenya.

Bertamu ke Yogya

Sudah ada tiga bulan ini aku diterima di perusahaan baru, sebuah perusahaan kontraktor mesin. Nampaknya aku mulai kerasan dengan bidang pekerjaan yang baru ini meski banyak tugas yang membuatku hampir tak punya waktu untuk bersantai dan bermain dengan teman-teman. Bulan-bulan ini kesibukanku bertambah dengan dimulainya proyek yang melibatkan beberapa rekanan di berbagai kota, termasuk Yogyakarta, dimana keluarga Om Wijoyo, saudara tiri ayahku tinggal di sana. "Kenapa harus nunggu bulan depan?" suara Om Wijoyo di telepon terdengar setengah 'memaksa'. "Bulan depan 'kan cuma seminggu lagi, Om," jawabku. "O iya ya.." "Sabar dong Om," kataku sambil ketawa, meski aku sendiri sebenarnya sudah tak tenang ingin segera ketemu. "Oke, kalau gitu Om tunggu ya..," sahutnya dengan nada kebapakan. Aku baru saja memberitahu Om Wijoyo tentang rencana kunjunganku ke Yogya. Om Wi' (panggilanku kepada Om Wijoyo-baca 'Tamu dari Yogya') tentu saja sangat senang mendengar berita itu. Jadwalku ke Yogya memang baru terealisir minggu pertama bulan depan, karena minggu-minggu ini aku harus menyusun laporan setelah perjalanan dinasku sebelumnya ke daerah Batam dan Samarinda minggu kemarin. Aku memilih perjalanan ke Yogya dengan menggunakan kereta api. Sengaja kupilih jadwal kereta keberangkatan Jum'at pagi, dengan harapan aku bisa punya waktu senggang di Yogya pada hari Sabtu dan Minggu. Sepanjang perjalanan, pemandangan sawah, bukit dan gunung berselisihan dengan bayangan Om Wijoyo yang terus muncul. Aku berusaha untuk mengingat kembali segala kejadian yang pernah kami lakukan ketika ia ke Jakarta beberapa bulan yang lalu. Penumpang di sebelahku, laki-laki setengah baya, tak mampu mengalihkan pikiranku dari bayangan Om-ku. Akhirnya kereta masuk Stasiun Tugu sekitar pukul 15.00, satu jam lebih lambat dari yang dijadwalkan. Di depan pintu gerbang utama kulihat Dede, putra sulung Om Wijoyo, melambaikan tangan ke arahku. Kami lalu bersalaman dan berangkulan dengan akrabnya. "Bapak mana, De?" tanyaku tanpa bisa menyembunyikan keinginanku ketemu ayahnya. "Tuh!" kata Dede sambil menunjuk seorang laki-laki yang berdiri di depan mobil Kijang. Sejenak aku terkesima melihat laki-laki gagah berkacamata rayban tersenyum ke arah kami sambil melambai-lambaikan tangannya. Dede menyuruhku menghampiri ayahnya, sambil meminta travel bag-ku untuk dibawanya. Kutinggal Dede dan aku lalu berjalan ke arah Om Wi' sambil terus kuamati sosoknya yang menurutku makin ganteng saja. Aku yakin ia juga terus menatapku di balik kacamata rayban-nya itu. "Apa kabar Om?" tanganku terulur. Ia lalu melepas kacamatanya dan langsung menyambut uluran tanganku untuk kemudian ditariknya aku dalam pelukannya. Mungkin di mata orang lain tampak seperti pelukan seorang Om kepada keponakannya. Tapi kami saling tahu dan bisa merasakan bahwa pelukan itu sebenarnya lebih dari itu. Apalagi Om Wi' sempat berbisik bahwa ia kangen denganku. Aku hanya bisa menarik nafas mendengarnya. "Kamu tampak makin dewasa saja," gumamnya sambil tangannya mencengkeram bahuku dan mengamati penampilanku. ".. Dan tambah ganteng..," lanjutnya dengan nada suara agak direndahkan. Berat badanku akhir-akhir ini memang sedang naik, membuat tubuhku nampak berisi. Dan mungkin ada satu hal yang kurang disadari Om Wijoyo, penampilanku memang berbeda dengan ketika kami bertemu di Jakarta dulu. Mungkin aku sekarang tak seklimis dulu karena kerap membiarkan kumis dan cambangku tak tercukur akibat jadwal kerjaku yang cukup padat. Memang banyak yang bilang kalau penampilanku jadi lebih menarik dan lebih 'mature'. Ketika Dede mendekat, kami bertiga segera masuk ke mobil dan meluncur meninggalkan stasiun. Om Wijoyo menawariku makan siang tapi aku menolak karena sudah makan di kereta tadi. Akhirnya kami langsung menuju rumahnya yang lokasinya mengarah ke Kaliurang. Dede yang memegang setir didampingi ayahnya. Aku sendirian di belakang dengan travel bag-ku. Sesekali Om Wi' menengok ke belakang mengajakku ngobrol. Tapi tatapan mata dan senyumannya sepertinya bicara lain. Penuh dengan kerinduan. Penuh dengan isyarat dan pancaran tertentu. Sesuatu yang bisa kutangkap tapi tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Terus terang sejak Om Wijoyo mengenalkanku pada sebuah 'peristiwa' ketika ia bertamu ke Jakarta dulu, aku tak pernah berniat mengulang hal itu atau melakukannya dengan orang lain. Bukan semata-mata karena aku belum pernah melakukannya dengan orang lain, tapi kuakui sejak kejadian itu mulai muncul 'kedekatan' tertentu dengan saudara tiri Ayahku itu lebih dari sekedar kedekatan seorang keponakan dengan Om-nya. Sejauh ini komunikasi cuma kami lakukan melalui percakapan di telepon. Om Wi' lah yang lebih sering menghubungiku, entah ke rumah atau kantorku. Aku sih senang-senang saja diperhatikan seperti itu. Dan perhatian itu tak berubah ketika aku bertemu langsung dengannya saat ini. Hampir semua urusan kedatanganku di Yogya ditangani oleh Dede. Ia memang seperti ayahnya, baik dan ramah dengan semua orang, apalagi dengan saudara. Malam pertamaku di Yogya lebih banyak ditemani olehnya. Putar-putar kota, makan dan nongkrong di Malioboro. Si Putri, adik perempuannya, kebetulan sedang ada acara sosial di luar kota. Jadi aku keliling kota berdua saja sama Dede. Om Wijoyo sendiri seolah 'melepas'ku untuk ditemani anak sulungnya itu, meskipun aku sebenarnya lebih suka Om Wi' yang menemani. Tapi mungkin ia ingin agar kedekatanku dengannya tak terlalu menyolok di depan anak-anaknya. Atau mungkin ia punya pertimbangan lain, aku tak tahu. Aku baru tahu hal itu keesokan harinya, hari Sabtu pagi ketika separo dari kegiatan usaha libur. Aku bangun agak kesiangan. Semalam aku dan Dede memang nongkrong sampai malam di sepanjang Malioboro. Sekitar setengah dua kami baru pulang. Aku langsung tidur di kamar tengah yang memang disediakan khusus untuk tamu. Dan pagi ini, karena merasa bangun kesiangan, aku langsung bangkit ke kamar mandi karena mau diajak main ke Kaliurang. Baru saja aku keluar dari kamar mandi, ketika pintu kamarku ada yang mengetuk. Rupanya Pak No, pembantu keluarga Om Wijoyo yang berdiri di depan pintu kamar sambil membawa handuk bersih. Ia agak kaget melihat aku baru saja selesai mandi. "Maaf Mas Hendro, ngasih handuknya terlambat. Tadi mau saya bangunkan tapi nggak enak," katanya sambil menyerahkan handuk bersih kepadaku. "Nggak pa-pa. Saya sudah bawa kok Pak," kataku sambil menunjuk handuk yang membelit tubuhku. Pak No lalu mengingatkanku bahwa sarapan sudah disediakan, sebelum ia berlalu ke belakang. Baru saja pintu kamar kututup, tiba-tiba ada ketukan lagi. Dan ketika kubuka, Om Wi' sudah berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengembang segar. Tampaknya ia belum mandi. Karena masih ber-training-spak dan berkaos oblong. Entah habis olah raga atau itu memang pakaian tidurnya. Terus terang aku kaget dengan kehadirannya yang sekonyong-konyong itu. "Kesiangan ya Hend?" sapanya ramah. Aku mengiyakan dan berharap ia segera masuk ke kamarku. Bukan apa-apa, aku tidak enak berduaan dengan dia dalam kondisi hanya berbalut handuk. Aku takut kalau tiba-tiba Dede melihat pemandangan 'aneh' ini. Tapi Om Wi' tampaknya tak peduli dan cuek dengan kegelisahanku. "Sudah mandi?" katanya sambil terus tersenyum di ambang pintu. "Coba kalau belum, bisa mandi bareng." Kalimatnya makin membuatku was-was, takut kedengaran orang lain. "Masuk Om," kataku akhirnya, setengah memaksa. "Mau dikasih apa?" sahutnya bercanda. Gila juga ini bapak-bapak. Omongannya makin nyerempet saja. "Masuk dong Om. 'Ntar ketahuan Dede atau Pak No!," kataku sambil menggamit lengannya. Ia menurut saja dan pintu kamar langsung kututup. "Dede pergi dan Pak No sedang kusuruh nyuci mobil," katanya sambil mulai mendekatiku. Aku setengah berteriak dalam hati. Lega! "Emang Dede kemana?" tanyaku penasaran. "Tadi subuh pamitan mau ke Semarang. Acara sama teman kantornya," kata Om Wi' makin mendekat ke arahku. "Kok semalam nggak bilang sama saya?" "Aku yang nyuruh jangan bilang ke kamu. Biar kamu tetap merasa enak di sini, meski nggak ada Dede" Om Wi' sudah di depanku dan langsung melepas handuk yang membelit pinggangku. Tangannya langsung menggenggam dan meremas. Aku hanya bisa memejamkan mata dan merasakan sentuhan yang sudah lama tak kurasakan. Elusan tangannya memandu memoriku merasakan kembali sensasi yang pernah diberikannya beberapa waktu lalu. Dan ingatan itu makin kuat ketika kurasakan bibirnya mulai merambat menciumku. Sentuhan kumis lebatnya masih terasa seperti dulu. Lumatannya juga masih sama seperti dulu. Pilinan lidahnya, hisapannya, semuanya. Geli dan merangsangku untuk membalas pagutan bibirnya. Nafas kami kini beradu tak karuan. Mendesah dan butuh pelepasan. "Om kangen sama kamu Hend..," bisiknya di sela-sela cumbuannya. Aku juga, kataku dalam hati. Beberapa saat kemudian Om Wi' melepas ciumannya dan mulai membuka pakaiannya dan aku membantu melepas kaos oblongnya. Dan kami pun kini berhadapan dalam kondisi sama-sama telanjang tanpa penutup apa pun. Langsung berdekapan, bercumbu lagi, saling mendesak, saling menggesek.. Kini gantian aku yang menggenggam miliknya. Ada kerinduan tersendiri ketika aku mulai mengelus dan meremas-remas benda yang panjang dan besar itu. Entah sudah berapa lama aku tak menyentuh batang itu sejak kejadian di rumahku dulu. Kini kerinduan itu kulampiaskan dengan berbagai remasan dan betotan yang gemas dan kuat. Kulihat mata Om-ku sampai memicing-micing keenakan menikmati kenakalan tangan keponakannya. "Isap, Hend..," ia memintaku. Dan akupun dengan senang hati memenuhi keinginannya. Langsung berlutut di tengah kedua kakinya yang terkangkang. Rasa-rasanya kaki Om-ku makin kekar saja dan bulu-bulu yang tumbuh pun tampak makin lebat. Tampaknya ia masih rajin berolahraga. Atau mungkin ini hanya kesanku saja yang sudah lama tak melihat ia dalam keadaan telanjang. Tapi yang jelas rasa dan aroma bagian tubuhnya yang terlarang itu telah membangkitkan nafsuku. Rasanya otot kemaluan itu masih padat dan pejal. Aromanya, campuran antara bau keringat dan bau sperma. Bagian kepalanya masih tampak membonggol besar bagai kepala burung Condor yang sesekali mengangguk-angguk setiap tersentuh lidah basahku. Kutuntaskan kerinduanku pada bagian tubuhnya yang paling pribadi itu. Dan pagi ini rasanya aku tak perlu lagi menikmati sarapan yang disediakan Pak No, cukup dengan 'pisang ambon' ini saja. Beberapa saat kemudian tangan Om Wi' menarik tubuhku untuk berdiri, lalu mendorongku hingga terpojok ke dinding kamar. Gerakan tubuh kami sempat membuat meja di sampingku bergeser dan menimbulkan bunyi berderak cukup keras. Tapi Om Wi' tak peduli dan terus merangsekku ke dinding. Akhirnya kami melakukannya sambil berdiri. Saling melumat, saling membelit. Saling menekan dan saling menggesek. Ia terus mendesakku layaknya seorang lawan yang sudah lama ingin ia lampiaskan untuk berbalas dendam. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kedua kakiku sudah terangkat dan pahaku mengepit pinggulnya. Sementara kedua tangannya berusaha menyangga tubuhku agar tak jatuh dan merosot dari dinding. Dalam posisi begini desakannya kurasakan semakin liar. Terasa sekali sodokan-sodokan batangnya di sela-sela garis pantatku. Rasanya geli dan membuat daerah sekitar liang pelepasanku itu seperti 'meleleh' karena membasah. Sementara batang kemaluanku terjepit di antara perutku dan perutnya. Tergesek-gesek bulu yang ada di situ. Dalam posisi digendong seperti itu, aku hanya bisa tengadah merasakan itu semua. Sementara mulutnya sibuk mencumbui daerah di sekitar leherku. Waktu aku kecil, Om Wijoyo memang seringkali menggendong atau membopongku dengan penuh kasih sayang. Tapi kali ini gendongannya jauh berbeda sekali dengan yang pernah ia lakukan. Mungkin ia masih melakukannya dengan penuh kasih sayang. Tapi aku merasakannya lebih dari itu. Gendongan dan dekapannya terasa sekali penuh dengan dorongan nafsu dan hasrat birahi yang mengental dan harus segera dicairkan. Dan aku sebagai keponakannya menurut saja pagi-pagi diajak 'main gendong-gendongan' seperti ini. Cengkeraman tangannya yang kuat dan desakan tubuhnya membuat aku makin terpepet ke tembok. Tubuh kami seolah lengket dan punggungku yang berkeringat terasa ketat menempel ke dinding. Aku berusaha agar tak jatuh merosot dengan mengetatkan belitan kedua kakiku pada pinggangnya. Apalagi ia sering melakukan sentakan dan sodokan dari bawah yang membuat tubuhku sesekali terguncang-guncang ke atas. Orgasme kami akhirnya harus datang terlalu cepat, saling menyusul dan tak terkendali. Aku mengerang dengan suara yang cukup keras meningkahi suaranya yang mendesah-desah seperti orang tengah kesakitan. Aku dan Om Wi' sepertinya tak peduli sekali pun Pak No atau orang lain akan mendengar hiruk-pikuk meledaknya puncak permainan seks ini. Pagi ini kami memang tidak sedang bermain cinta. Ini benar-benar permainan seks. Sekedar menyalurkan dorongan nafsu syahwat saja. Tapi aku tak menyesali. Karena aku pun sudah lama memendam tumpukan birahi ini padanya. Tak sampai semenit kemudian, dengan sisa tenaga yang ada dan tubuh masih dalam posisi saling membelit, Om Wi' menggendong tubuhku ke arah ranjang dan menjatuhkan tubuh kami ke sana. Tubuh gempalnya sesaat sempat menindihku sebelum ia berguling ke samping. "Uhh.. Cepet banget.." katanya beberapa saat kemudian sambil nyengir. Badannya berbaring miring di sampingku. Tangannya bertelekan ke dagu dan menatapku sayu. Keningnya masih berpeluh dan kudengar nafasnya masih agak ngos-ngosan. Aku tetap diam telentang di sampingnya, tak menanggapi ucapannya. "Kok diam?" tangannya menyentuh ujung hidungku yang basah oleh keringat. "Ehmm..," aku malas untuk bicara, masih terbawa oleh sisa-sisa kenikmatan yang samar-samar masih terasa di bagian bawah tubuhku. Kuamati wajahnya lalu kupeluk lehernya dan kami pun berciuman. Lumat dan lama sekali. Ada rasa plong ketika aku menuntaskan permainan yang singkat dan cepat tadi. Rasa rindu dan birahi yang selama ini kupendam terasa terobati. Bagaimana pun, laki-laki yang selama ini kupanggil 'Om' ini telah merebut hati dan perasaanku. Belum pernah aku jatuh cinta seperti ini, bahkan kepada seorang wanita pun. Di mataku kini, aku tak melihat lagi ia sebagai Om atau Pakdeku. Ia telah menjadi kekasih dan tempatku melampiaskan hasrat kelelakianku. "Jadi ke Kaliurang-nya?" tanyanya di sela-sela cumbuannya. "Kan Dede-nya nggak ada..," sahutku "Memang Om nggak bisa nganter apa?" "Emang Om Wi' mau nganter?" "Lha, buat apa Om nyuruh Pak No nyuci mobil?" Kami kemudian sepakat untuk mandi dan sarapan dulu. Aku terpaksa mandi 'basah' lagi, sekalian menemaninya. Toh sudah lama kami tak mandi bersama sejak kejadian di Jakarta dulu. Sekitar jam sepuluh kami berangkat menuju Kaliurang. Om Wi' yang pegang setir. Ia tak mengijinkan ketika kutawarkan aku saja yang bawa mobil, dengan alasan aku adalah tamunya. "Jadi saya dianggap tamu nih?" kataku pura-pura kesal. "Iya. Tamu istimewa," sahutnya datar. "Pake telor nggak?" "Pake. Telornya dua biji," katanya sambil tertawa tergelak-gelak. Ketawanya masih khas seperti dulu. Renyah dan segar. Kupukul bahunya menanggapi guyonannya. Ia pura-pura meringis kesakitan. Kelihatan sekali Om Wi' senang dengan kedatanganku. Sepanjang jalan, disela-sela obrolan, ia terus bersenandung. Sesekali kuamati wajahnya yang sebagian tertutup oleh topi pet dan kacamata rayban. Hari ini kami memang rada santai. Pakaian kami hanya t-hirt, celana pendek bermuda dan bersepatu sandal saja. Tak ada lagi barang lain yang kami bawa, kecuali sebuah tas pinggang yang dipakai Om Wi'. Sepanjang perjalanan sesekali kuperhatikan sosok laki-laki di sampingku itu. Beberapa rambut putih tampak menyembul dari rambut ikal yang ada di bagian atas kupingnya. Om-ku memang sudah berumur. Tapi di mataku ia tampak makin matang saja, berwibawa dan 'wise'. Kumisnya yang tumbuh bagus makin memperkuat kesan itu. Tubuhnya memang tampak makin berisi. Bahkan perutnya agak sedikit buncit, tapi masih proporsional dengan bentuk badannya yang tegap. Menatapnya seperti ini membuatku ingin sekali merengkuhkan tangan memeluknya. "Om..," hanya itu yang bisa keluar dari mulutku sambil mengusap lengannya yang padat kekar dan berbulu itu. "Ya, sayang..," sahutnya dengan ekspresi datar sambil tetap serius menyetir. Aku ketawa mendengar kata 'sayang' di akhir kalimatnya. "Kenapa?" tanyanya masih tanpa ekspresi. Suara baritonnya terdengar meneduhkan. Aku tak menyahut dan kemudian beralih menatap jalanan di depan. Aku memang tak bermaksud mau mengatakan sesuatu. Hanya ingin memanggil namanya saja. Mungkin itu bagian dari caraku untuk menyatakan aku menyayanginya. "Ada apa?" tanyanya lagi dengan nada tak berubah. "Nggak..," sahutku ringan sambil menoleh ke arahnya. Ia tersenyum dan tampaknya tahu kalau aku memang hanya ingin memanggil namanya saja. Ia kemudian malah bersenandung dan bersiul-siul, membuatku makin 'gemas' saja melihatnya. Tiba-tiba ia melepas tangan kirinya dari kemudi, memegang tangan kananku lalu menggenggam dan meremasnya. Ada rasa rindu mengalir dalam genggamannya. Kami sama-sama menarik nafas hampir bersamaan. Tak ada kata-kata yang keluar. Kami hanya bisa merasakan semua perasaan ini. Ingin rasanya aku bisa memeluk dan menciumnya. Tapi mustahil aku melakukannya di jalanan umum begini. Akhirnya aku hanya bisa mengusap-usap pahanya dan sesekali menepuk-nepuk mengikuti senandungnya. Sesekali kupegangi lututnya, kuusap-usap dan kugelitiki. Ia kegelian dan tangannya berusaha menepis. Tanganku memang sesekali meremas-remas bagian dalam pangkal lututnya yang menggembung dan sesekali jari-jariku menelusup masuk ke celah bawahnya. Ia makin memprotes kegelian, tapi tak kuhiraukan. "Iseng amat sih?" "Nggak boleh?" "Boleh! Tapi masa cuma lututnya doang?" sahutnya dengan nada nakal. OK! Kuturuti tantangannya. Pelan-pelan kutelusupkan tanganku ke celah celana pendeknya yang agak longgar dan mulai mengusap-usap bulu yang ada di sekujur pahanya. Ia diam saja tak bereaksi. Hanya segurat senyum mulai mengembang. Namun ketika tanganku makin masuk ke dalam, kudengar ia mulai menarik nafas. Tiba-tiba ia kembali melepas tangan kirinya dari kemudi dan dengan tanpa ekspresi ia berusaha melepas tas pinggangnya dan kaitan celananya. Lalu dengan pandangan tetap ke jalanan, tangannya kembali memegang setir, dan tak melanjutkan membuka celananya lebih jauh. Aku tersenyum geli mengamati perbuatannya. Tapi tanpa diminta, aku mengerti maksudnya dan meneruskan apa yang diperbuatnya tadi dengan menarik resleting celananya ke bawah. Segera kulihat sembulan celana dalam putihnya. Garis batang kemaluannya jelas terlihat membayang. Kuusap bagian itu dan kurasakan sudah cukup mengeras. Ia menarik nafas merasakan sentuhan tanganku. Sesekali kuperkuat usapanku di bagian itu dan ia pun makin kuat menarik nafasnya. Tangan kirinya lalu melepas setir lagi dan berusaha mengeluarkan 'isi' celananya. Tapi aku mencegahnya, karena jalanan yang kami lalui bukan jalan yang sepi, meskipun tidak terlalu padat juga. Om Wi' menurut dan membiarkanku hanya bermain-main di bagian luar saja. Kira-kira satu kilometer berikutnya, tiba-tiba Om Wi' membelokkan mobil ke arah kiri, masuk ke sebuah jalan yang lebih kecil yang nampaknya merupakan jalur alternatif. Jalan ini memang tampak lebih sepi dan tidak ada pemukiman penduduk. Di kiri kanan hanya ada kebun sayur dan pepohonan semacam cemara atau pinus. Semula aku pikir kami sudah sampai di Kaliurang, tapi begitu melihat Om Wi' kembali berusaha melepas celananya, aku baru faham maksudnya untuk berbelok ke jalanan ini. Om-ku yang satu ini memang kadang-kadang 'kreatif' juga. Apalagi kalau menyangkut urusan begituan. Kuminta ia untuk sedikit mengangkat pantatnya agar aku dengan mudah bisa membantu menarik celananya ke bawah. Kuperosotkan celana pendek bermuda itu sekaligus celana dalamnya hingga ke lutut. Kini di sampingku tampak dua buah benda bulat panjang menantang. Yang satu adalah persneling mobil dan yang satunya lagi adalah sebuah 'meriam' kecil lengkap dengan bagian kepalanya yang sudah membengkak, tegang tapi masih agak menggantung karena belum sepenuhnya keras. Kuamati Om-ku tetap dengan serius mengemudikan mobilnya, meskipun sekilas kutangkap wajahnya agak tegang dan nafasnya memburu. Seolah ada sesuatu yang membuatnya tak sabar menunggu. Pelan-pelan kugenggam bagian batang miliknya yang besar dan pejal itu. Ia menarik nafas panjang. Tanganku lalu mulai memijit-mijit dan sesekali kuselingi dengan mengurut benda itu dengan gerakan maju mundur. Tarikan nafasnya makin tak teratur. Sejenak kulepaskan genggamanku dan gerakanku berpindah sasaran ke arah bulu-bulu ikal yang tumbuh lebat merimbun di pangkal kemaluannya. Aku tahu, ia paling senang kalau aku mengelus-elus bulu jembutnya. Kulihat Om Wi' mulai gelisah. Dan pelan-pelan 'meriam'nya mulai mengembang, menegang. Tanganku pun gatal untuk segera merayap lagi ke sasaran semula dan kulanjutkan dengan gerakan mengocok. Kulihat kepala kemaluannya makin membengkak, meradang. Mata Om Wijoyo masih lurus menatap jalanan di depan. Sesekali ia terpejam meresapi apa yang tengah kuperbuat. Duduknya kembali mulai gelisah. Tapi yang membuatku salut adalah: ia tetap bisa mengendalikan mobil dengan baik. Padahal kondisi jalan di situ tidak lagi mulus, beberapa bagian aspalnya sudah berlubang. Gerakan tanganku pun sesekali tersentak mengikuti guncangan mobil. Ketika mobil mulai memasuki areal sepi yang dipadati oleh pohon pinus, aku merasa aman untuk melakukan sesuatu yang lebih jauh. Maka tanpa diminta aku pun menenggelamkan wajahku ke selangkangannya. Kulahap milik Om-ku dalam sekali 'sergapan'. Terus terang ia tersentak kaget dan mengeluarkan erangan tertahan, sebelum akhirnya ia pasrah dan kembali mengemudi. Agak sulit rasanya 'mengisap' dalam posisi duduk menyamping begini. Aku harus mengatur posisiku sedemikian rupa agar dapat melakukannya dengan baik. Om Wi' pun berusaha mengatur posisinya sedemikian rupa. Bahkan ia berusaha melepas celananya yang tadi tersangkut di lutut dengan gerakan yang cekatan tanpa harus mengganggu gerakan kakinya menginjak kopling dan gas. Sebuah ketrampilan yang mungkin tak semua orang bisa melakukannya dengan baik. Posisi kaki Om Wi' kini menjadi lebih bebas. Dibentangkannya lebar-lebar pahanya yang penuh bulu itu. Seolah memberiku kesempatan untuk 'melahap'nya habis-habisan. Tangannya kemudian menekan kepalaku untuk lebih menelusup ke bawah, ke wilayah kantung pelirnya. Tapi aku agak kesulitan karena kepalaku terbentur batang kemudi. Dan Om Wi' pun kemudian dengan sigap agak menyandarkan posisi duduknya untuk memberiku ruang, sehingga kepalaku kini lebih leluasa menjelajahi selangkangannya. Maka kujilati apa yang bisa kujilat. Kukerahkan bibir, lidah dan hidungku untuk menelusuri setiap daging dan bulu yang ada disitu. Aroma khas yang tercium membuatku makin semangat bermain-main di daerah itu. "Hend.. Hend..," bisik Om Wi' agak keras memanggil-manggil namaku. Semula aku pikir ia tengah mengekspresikan rasa 'keenakan', tapi ternyata ia memintaku untuk berhenti karena kami sudah sampai ke tujuan. Pelan-pelan Om Wi' menghentikan mobilnya dan ketika kuangkat kepalaku, di depan terlihat sebuah kompleks bangunan mirip resort. "Itu mess perusahaan," katanya menjelaskan sambil tangannya sibuk memakai kembali celana pendek bermudanya. Celana dalamnya ia biarkan teronggok di bawah sebelum ia pungut dan diselipkan ke saku celananya. "Kok 'CD'-nya nggak dipakai?" kataku sambil ketawa keheranan. "Nanti juga dicopot 'kan?" jawabnya kalem. Dasar! umpatku dalam hati. Tentu saja pikiranku jadi 'kemana-mana' mendengar kalimatnya itu. Kami lalu turun dari mobil dan berjalan ke arah pos penjagaan. Kelihatan sekali Om Wijoyo sudah kenal dan dikenal baik oleh para penjaga mess di sini. Aku tak begitu heran, mengingat jabatan Om-ku cukup baik di perusahaan tempat ia bekerja. "Ini kenalin, Hendro, keponakan saya dari Jakarta," kata Om Wi' sambil memperkenalkan aku kepada tiga orang petugas security di situ. "Mau menginap berapa malam Pak?" tanya salah seorang kepada Om Wi'. "Terserah dia, mau berapa malam," sahut Om Wi' sambil menunjuk ke arahku yang kebingungan. "Cuma semalam saja kok Pak," cepat-cepat Om Wi' melanjutkan seolah meralat guyonannya. "Monggo, silakan," kata salah seorang petugas mess sesaat kemudian setelah mengambil kunci dan mengantar kami ke salah satu guest house yang terbaik yang ada di situ. "Om, emang kita mau nginap? Kan kita nggak bawa pakaian," kataku begitu sampai di ruang tengah guest house dan petugas yang mengantar kami sudah berlalu. "Kamu serius amat sih?" balasnya sambil mendekatiku."Lagian kita memang tidak perlu pakai pakaian.." Belum sempat aku menanggapi kalimatnya, tiba-tiba ia sudah menarik tubuhku dalam pelukannya dan menciumku dengan gemas. Gerayangan tangannya langsung kemana-mana. Dan sebelum akhirnya kami berdua tergeletak di lantai ruang tengah, ia telah melolosi seluruh pakaianku dan pakaiannya sendiri. Tubuh gempalnya langsung menindih. Dan kami pun segera bergelut dengan penuh gairah di lantai guest house yang cukup dingin itu. Beberapa kali kami sempat bergantian posisi, saling tekan dan beradu 'pedang' disertai dengusan nafas yang makin lama rasanya makin sesak karena desakan birahi. Beberapa kali kurasakan ketika aku berada di bawah dan mengepit pinggangnya, Om Wi' berusaha mengarahkan 'moncong rudal'nya ke celah pantatku diiringi dengan sodokan-sodokan ringan. Tampaknya ia ingin mengingatkanku bahwa ada satu 'pelajaran' lagi yang aku belum lulus menjalaninya (baca "Tamu dari Yogya"). "Jadi Hend..?" tanyanya sambil menatapku tajam ketika ia mulai melakukan gerakan-gerakan itu lagi. Aku diam tak menjawab. Aku bukannya ragu, karena pengalaman pertamaku dengannya dulu sempat menimbulkan rasa nyeri. Tapi aku diam karena sedang mencoba menikmati sodokannya yang nakal di bawah sana. Rasanya geli, serasa dibelai-belai. "Hend..," kembali suaranya terdengar, setengah berbisik. Seolah memintaku untuk memenuhi permintaannya. Saat itu mataku masih terpejam meresapi gerakan-gerakan yang ia lakukan. Dan apa yang tengah aku resapi itu makin lama makin menjadi-jadi ketika kurasakan tubuh Om Wi' bergeser ke bawah, mengisap milikku sambil jari-jari tangannya mulai menggelitik liang pelepasanku. Tubuhku sesaat melenting sebelum ia mengatur posisiku sedemikian rupa sehingga kedua pahaku terangkat dan terkuak lebar. Aku masih memejam. Tapi kali ini mulutku mulai meringis-ringis keenakan oleh sentuhan jarinya di bawah sana. Rasanya aku tak perlu menjawab keinginannya tadi. Respon kenikmatan yang kutunjukkan bagiku sudah cukup untuk mengatakan kalau aku mengijinkan dan menginginkan ia bertindak lebih jauh. Dan keinginanku semakin bulat, ketika kurasakan lidah Om-ku mulai menggantikan jarinya untuk merangsang bagian bawah tubuhku. Dalam sekejap air liur hangat dan licin mulai membasahi. Lalu ada gerakan jari dan lidah menusuk, mengusap, bergantian. Kedua pahaku sempat hampir mengatup karena sangat kegelian, namun dengan sigap Om Wi' membentangkannya lagi. Om-ku ini, adalah orang yang sebenarnya tak banyak maunya. Tapi kalau menyangkut keinginan seks, ia sulit untuk dikendalikan. Aku mulai mengenal sifatnya ini ketika mulai dekat dengannya, di samping pengakuan yang ia ceritakan sendiri. "Sebentar ya..," Om Wi' berbisik dan kemudian beranjak berdiri. Tubuh bugilnya sudah terlihat agak basah oleh keringat. Senjatanya mengacung besar ke depan dan bergoyang-goyang ketika ia berdiri dan berjalan ke arah tumpukan pakaian kami. Tangannya lalu meraih sesuatu dari tas pinggangnya. Belum sempat aku berpikir, Om Wijoyo sudah berbaring kembali di sampingku dengan sebuah tube dalam genggamannya. Pelumas! Ah, rupanya ia ingin mempersiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya. Sambil senyum-senyum, tangannya bergoyang-goyang menunjukkan tube itu ke arahku. Gantian aku yang meringis tersenyum melihat ulahnya. "Kenapa?" tanyanya heran melihat reaksiku. "Nggak pa-pa..," jawabku enteng. "Memang Hendro belum pernah pake ginian?" tanyanya. Aku menggeleng, meskipun aku tahu untuk apa kegunaan pelumas itu bagi seorang duda seperti dia. "Om suka pake ini buat beginian..," katanya lagi sambil memeragakan gerakan onani. Aku tak menanggapi, malah kuraih tube pelumas itu dari tangannya dan ia membiarkanku melumuri batang kemaluannya. Sisa pelumas kemudian aku oleskan sendiri ke celah selangkanganku. Ia tersenyum lebar melihat apa yang kulakukan. Kami pun lalu saling merangsang. Tanganku mulai mengurut dan memijat batangnya. Sementara tangan kanannya terulur dan jarinya mulai menggelitik ke sela pantatku. Rasa geli langsung menyergapku. Jari-jari itu terasa licin mengulir dan membelai-belai di bawah sana. Spontan aku berbaring, melipat kedua lututku ke atas dan membentangkan pahaku lebar-lebar. Kutinggalkan batang kemaluan Om-ku yang sudah menegak lagi. Kunikmati permainan jarinya. Kuresapi tusukan dan gelitikannya. Geliat tubuhku bahkan tak membuat gerakannya meleset. Malah semakin gencar. Tanganku yang semula hanya terentang kini mulai mencari pegangan. Dan pegangan yang terdekat adalah sebatang otot pejal milikku sendiri. Sisa pelumas yang ada melancarkan kocokanku. Sesekali suara kecipak terdengar bagai lagu pengiring yang mengantarkanku mendaki puncak kenikmatan. Suara lenguhan mulai sering terlontar dari mulutku. Dan tubuhku beberapa kali bergidik oleh rasa geli nikmat layaknya orang kencing yang tertahan lama. Tapi ini pasti akan menjadi kencing yang jauh lebih nikmat. Apalagi ketika Om Wi' merebut 'tongkat' yang ada di genggamanku dan menggantikanku meloco milikku. Tanganku kini terentang pasrah. Kunikmati kedua tangan Om-ku yang masing-masing sibuk merangsang pantat dan batang kemaluanku yang rasanya makin licin karena pelumasnya telah bercampur dengan keringatku. Bahkan aku tak menyadari kalau dua jari Om Wi telah memasuki celah anusku. Artinya 'jalan'ku sudah mulai longgar. Jari tengah dan telunjuknya bergantian menggelitik, bergerak seperti tengah menggaruk. Waktu itu, sepeninggal Om Wijoyo ketika pulang dari Jakarta dulu, aku memang mempunyai kebiasaan baru bila tengah melakukan onani. Aku mulai suka merangsang sendiri anusku dengan jari sementara tangan yang lain tetap 'memompa' seperti biasanya. Ada sensasi tersendiri ketika mengocok sambil menyentuh lubang yang lembut itu dengan ujung jari yang sebelumnya sudah aku beri pelumas. Kegelian dan kenikmatan yang kuarasakan selama onani menjadi bertambah. Aku seperti dirangsang dari dua kutub yang berbeda. Dan ketika ejakulasiku datang, orgasme yang kurasakan sangat intens, lebih dari biasanya. Itu baru diakibatkan oleh sebuah jari. Bagaimana kalau yang menggelitik lubang tubuhku itu sebuah.. "Hend..," bisikan Om Wi' terdengar dekat di telingaku. Rupanya ia telah mengangkangiku dan meminta ijinku untuk memulai. Kedua pahaku sudah terangkat dan terbuka lebar. Kedua tangan Om Wi' berusaha menahan posisi ini dan tubuhnya agak condong menindihku. Aku hanya bisa memeluk lehernya, mengecup pipinya, dan.. "Fuck me.. Please..," bisikku ke telinganya. Matanya menatapku seolah menanyakan keseriusanku. Aku mengangguk meyakinkannya. Aku tak ingin melihat apa yang bakal terjadi. Layaknya seorang perawan yang baru pertama kali diperawani. Aku hanya mau merasakan dan meresapi saja ketika pelan-pelan sebuah benda bulat kenyal mulai menelusup ke garis anusku yang sudah basah oleh pelumas. Kuatur konstraksi otot cincin yang ada di sana untuk menyambut hadirnya bagian tubuh Om-ku yang selama ini terus membayang dalam pikiran birahiku. Kurasakan mulai ada sesuatu yang dijejalkan, lalu sebuah tekanan, pelan namun kuat. Om Wijoyo mencoba melakukan 'pengeboran' sambil sesekali menciumi bibirku. Sementara aku hanya pasrah saja. Ketika aku mulai merasakan ada sebuah tusukan, entah kenapa tiba-tiba mataku berair. Aku tak menangis. Mungkin cuma sebuah emosi yang tak bisa lagi kukendalikan. Dan ketika tusukan itu makin dalam, emosiku makin meluap. Mataku terpejam dan makin membasah. Om Wijoyo mencoba menutup bibirku dengan tangannya, dipikirnya aku menangis. "Ssshh.. Sshh..," ia mencoba meredakan emosiku seperti seorang ayah tengah menghentikan tangis anaknya. Dan aku bukannya diam, tapi malah kini aku benar-benar keluar air mata. Lalu aku mencoba membuka mataku dan mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. "Teruskan Om.." bisikku sambil sedikit kuangkat pinggulku seolah aku siap menerima tubuhnya. Kulihat wajah Om Wijoyo agak tegang dan sedikit memerah. Lalu dengan pandangan yang sulit kuartikan, ia mulai membalas gerakanku dengan menekan pinggulnya ke bawah. Makin kuat.. Makin kuat.. Dan sebuah tusukan panjang terasa meluncur di dalam liang bawah tubuhku. Seketika aku menggeliat dan mengerang. Kali ini Om Wi' tak peduli dengan diriku lagi, apakah aku kenikmatan atau kesakitan. Aku memang sedikit merasakan rasa nyeri. Tapi rasa nikmat yang kudapat mengalahkan semuanya. Maka kubiarkan ia terus menekan dan menekan. Bahkan aku sesekali mengangkat pantatku agar tusukannya lebih dalam. Dan aku bisa merasakan gesekan batangnya. Lembut meluncur di sepanjang dinding anusku. Akhirnya, pinggul Om-ku mulai lancar bergerak maju mundur layaknya sebuah 'piston' pada sebuah alat pengebor. Inilah anal seks pertamaku! Terus terang aku ada perasaan seperti kehilangan sesuatu. Tapi di sisi lain aku seperti mendapatkan sesuatu yang lain: rasa nikmat yang belum pernah kurasakan dan sentuhan kasih sayang dari Om-ku yang berbeda dari biasanya. Aku merasa benar-benar dalam naungan dan kekuasaannya. Tapi aku menikmatinya. Demikian juga dia. Suara 'ah oh' mulai terdengar dari mulutnya. Sementara aku melenguh-lenguh kenikmatan. Aku memang sungguh kenikmatan. Benda pejal itu serasa menggesek dan menggelitik seluruh syaraf tubuhku bagian dalam. Kegelian yang tak bisa kugaruk. Kenikmatan yang sulit kuatasi. Mataku semakin berair merasakan desiran-desiran halus di sekujur tubuhku yang makin lama berubah menjadi desak-desakan rasa geli dan nikmat yang berbaur jadi satu. Posisi Om Wijoyo kini tidak lagi menindihku tapi ia sudah berlutut di antara kedua kaki dan pahaku yang dibentangkannya lebar-lebar. Ia bagai koboi yang tengah menghela kuda tunggangannya. Sementara aku tersengal-sengal oleh sodokan-sodokan nikmatnya. Bulu-bulu di perutnya yang agak buncit itu tampak basah oleh keringat. Tubuhnya yang 'sekel' tampak berkilat, bagai seorang kstaria berbaju baja. Kulit tubuhnya yang bersih terlihat memerah oleh gelora birahinya sendiri. Siang ini aku betul-betul pasrah pada dunia. Sekiranya akan terjadi kiamat pun, aku sepertinya akan siap menghadapinya. Tanganku terentang pasrah dan sesekali mencari pegangan. Tapi yang kutemukan hanya lantai licin yang basah oleh keringat kami. Lalu ketika kutemukan sebuah 'pegangan' dari bagian tubuhku sendiri, aku pun akhirnya meloco milikku sendiri meningkahi nikmatnya sodokan-sodokan yang dibuat Om-ku dari depan. Tubuhku beberapa kali sempat menggelinjang hebat merasakan rangsangan yang datang dari bagian depan dan bawah selangkanganku. Tapi Om Wijoyo sama sekali tidak berusaha menahan liarnya gerakan tubuhku. Dibiarkannya aku menggeliat-geliat di atas lantai yang telah licin oleh keringat, sementara ia sendiri terus asyik berpacu laksana kuda jantan lepas kendali. Sesekali terdengar suara kecipak yang ramai. Aku tak tahu apakah itu suara kecipak punggung basahku yang beradu dengan lantai licin ataukah kecipak pahanya ketika membentur-bentur bukit pantatku. Berkali-kali aku merintihkan nama Om-ku, tapi ia seperti tak peduli lagi. Karena aku juga memang tak bermaksud memanggilnya. Ia pun beberapa kali menyebut-nyebut namaku dalam suara yang terdengar seperti desahan. Kelihatan sekali ia sangat kenikmatan. Sesekali bisa kurasakan tubuhnya bergetar menahan desakan birahinya. Lantai benar-benar telah basah oleh peluh kami berdua. Rambut Om Wi' yang ikal tampak menjuntai basah dan sebagian jatuh ke keningnya. Air tampak menetes-netes dari ujung kumisnya, menimpa perutku yang juga sudah basah oleh keringatku sendiri. Lalu di luar dugaanku, Om Wi' merebut batang kemaluanku yang tengah kukocok dan kini gantian ia yang mengonani diriku. Aku tersentak oleh betotannya. Gerakan tangannya menjadi lebih liar dan kasar, tapi rasa nikmat yang diberikan lebih sensasional. "Ooohh.. Oohh.." berkali-kali aku mengeluarkan suara-suara yang tak jelas maknanya. Aku tak mengerti mengapa rasa nikmat itu sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Rasanya bahasa tubuh dan suara mulut kami berdua lebih bisa mengekspresikannya. Om Wi' sendiri terus menggeram dan mengerang bagai singa liar tengah mengawini betinanya. Matanya yang biasanya teduh itu kini tampak memicing buas. Sesaat ruang tengah guest house itu menjadi arena lenguhan dan erangan tertahan yang keluar dari mulut kami berdua. Dan lenguhanku akhirnya berujung pada desahan panjang ketika aku tak bisa membendung lagi muncratnya air kenikmatan dari ujung kepala kemaluanku. Memancar, muncrat dan meleleh, membasahi tangan Om Wi' yang terus saja mengurut-urut batang milikku. Sesaat kemudian tangannya menggenggam bagian kepala kemaluanku yang sedang dalam kondisi sangat sensitif itu, kemudian meremasnya dengan lembut. Sentuhan terakhirnya itu membuat tubuhku bergidik hebat, tersengal dan aku memohon-mohon dia untuk menyudahi remasan tangannya itu. Om Wijoyo lalu melepas tangannya dan mencabut miliknya sendiri untuk kemudian dikocok-kocok di atas perutku. Tak beberapa lama kemudian ia mulai menggeram tak karuan. Dalam posisi berlutut sambil mengocok seperti itu pantatnya tampak maju mundur dan mengejang-ngejang seolah menahan sesuatu yang ingin keluar. Hingga akhirnya suaranya makin meracau dan berujung pada sebuah teriakan tertahan ketika semburan cairan putih kental beberapa kali menyemprot ke arah dada dan perutku. Sejenak kubiarkan ia tenggelam dalam puncak syahwatnya sebelum akhirnya tanganku menggenggam miliknya, kemudian kupilin-pilin dan terakhir kubalas perlakuannya tadi dengan meremas bagian kepalanya yang membulat besar itu. Ia berusaha menghindar dengan menarik pantatnya ke belakang, tapi aku tetap mencengkeramnya. Sampai akhirnya tubuhnya yang gempal itu jatuh berguling, telentang dan aku menindihnya. Ada sekitar lima menit kami berbaring telanjang, saling bertindihan di atas lantai. Tak ada satu pun suara keluar dari mulut kami kecuali suara nafas yang masih belum teratur. "Gimana Hend..?" tanya Om Wi' setengah berbisik. "Not bad..," jawabku singkat. "Harus dibiasakan..," katanya sambil tersenyum. "Mumpung masih ada waktu bersama Om di sini." Ini memang baru hari Sabtu. Besok masih ada Minggu dan ditambah dua hari lagi aku berada di Yogya. Tentu saja aku akan memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya bersama dia. Tapi aku tak mengomentari ucapannya, tapi malah kupeluk dan kudekap tubuhnya erat-erat. Masih terasa lengket oleh keringat bercampur cairan kenikmatan dari tubuh kami berdua. Sore itu kami memutuskan untuk kembali ke Yogya, setelah mandi di guest house dan makan siang di pinggir jalan. Kini gantian aku yang memegang kemudi. Penjaga mess sempat heran ketika kami pamitan dan tidak jadi menginap. "Kami lupa bawa pakaian Pak," kata Om Wijoyo memberi alasan. "Katanya nggak perlu pakaian..," bisikku mengodanya. Ia menekan pahaku agar tidak meneruskan kalimatku. Mobil segera kuluncurkan ke arah Yogya dan kami tiba di rumah sekitar setengah tujuh malam. Dede belum kelihatan, tapi si Putri sudah ada di rumah. Malam itu kami bertiga keluar bermalam minggu, makan malam ke daerah Bantul. Sekitar jam sebelas aku sudah tertidur lelap, sendirian di kamar tengah yang disediakan untuk tamu. Sebelumnya kami sempat ngobrol dulu di ruang keluarga sambil nonton acara TV. Si Putri minta ijin tidur duluan, karena besok pagi akan ada acara ke luar kota lagi. Tak lama kemudian gantian aku yang meminta ijin untuk tidur. Om Wi' sepertinya mafhum dan ia malah mengantarku ke kamar. Kami sempat bercumbu sejenak di dalam kamar tapi rasanya tak mungkin malam ini aku tidur berdua dengan Om Wijoyo. Di samping karena ada si Putri di rumah ini, permainan cinta kami tadi siang cukup menguras tenagaku. Toh besok masih ada hari Minggu, kata Om Wi' sebelum meninggalkan kamarku. Dan keesokan paginya, subuh-subuh Om Wi' sudah mengetuk pintu kamarku. Aku sendiri masih tiduran. Dan begitu kubukakan pintu, aku langsung balik ke ranjang dan 'melingkar' lagi ke dalam selimut. Om Wi' segera menutup pintu kamar dan bergabung denganku di ranjang, ikut melingkar di balik selimut. Menurut Om Wi', ia baru saja mengantar Putri ke terminal, katanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Tangannya langsung merogoh, menggenggam. Kebetulan aku tidur hanya bercelana kolor saja. Dan kebetulan pagi ini 'si kecil' sedang kencang-kencangnya bangun. "Main yuk..," bisik Om Wi' sambil tangannya mulai mengelus-elus milikku. Aku menggeliat, pura-pura menghindar. Tapi ia malah makin ketat mendekapku dari belakang dan mempererat genggamannya. "Katanya mau dibiasakan..," rayunya lagi. Kali ini tangannya sudah mulai memijit-mijit milikku dengan nakal. Aku menggeliat lagi. Kali ini bukan untuk menghindar tapi aku kegelian oleh perbuatannya. Aku diam saja tak menjawab. Yang keluar hanya suara erangan seperti anak kecil yang malas bangun pagi. Tapi semakin aku tak menanggapi ajakannya, tangannya malah semakin usil. Dibelai-belainya kantung kemaluanku yang pagi ini sedang padat-padatnya. Lalu sesekali tangannya berpindah ke belakang membelai-belai bukit pantatku, sambil jari-jarinya bermain-main ke celah-celahnya. "Hendro, ayo bangun dong," kali ini nadanya seperti membujuk. "Kalau nggak mau, kita sarapan aja yuk!" lanjutnya seperti seorang ayah tengah merayu anaknya agar mau makan. "Sarapan apa?" kalimat pertamaku akhirnya keluar. "Pisang! Mau?" sahutnya. Tangannya lalu mengarahkan tanganku ke belakang untuk memegang miliknya yang sudah tegang membesar. Rupanya tanpa sepengetahuanku, selama tangannya yang satu tadi sibuk bergerilya, tangan yang lain diam-diam melolosi pakaiannya sendiri. Om-ku kini dalam keadaan bugil dan masih memelukku dari belakang. Batang kemaluannya yang kini ada dalam genggamanku sudah sedemikian tegangnya. Ia kemudian menciumi kupingku dan mulai menjilatinya. Rangsangannya inilah yang akhirnya membuatku menuruti kemauannya untuk bermain cinta pagi itu. Sesaat kemudian aku sudah menyusup ke bawah selimut dan melahap miliknya bulat-bulat. Aku puas-puaskan sarapan 'pisang ambon' yang berukuran besar itu. Sayup-sayup dari balik selimut kudengar lenguhan kenikmatan Om-ku setiap bibir dan lidahku menyentuh bagian tubuhnya yang paling pribadi itu. Akhirnya pagi itu kami bermain cinta dengan penuh gelora. Di ronde pertama Om Wi' minta aku untuk 'menungganginya'. Ia mau mengajariku untuk melakukan posisi 'doggy style'. Dibimbingnya aku 'masuk' dari arah belakang.. Benar-benar sensasional. Tubuhnya yang padat berisi merangkak layaknya kuda tunggangan yang siap untuk dipacu. Bukit pantatnya yang padat tampak makin membongkah saja dalam posisi begitu. Baru kali ini aku bisa mengamati adanya bulu-bulu halus yang tumbuh di sekujur pantatnya. Sexy! Ia masih sempat beberapa kali mengarahkanku untuk masuk, sebelum akhirnya aku menjadi pandai sendiri dan selanjutnya trampil 'menungganginya'. Permainan kami baru berakhir sekitar jam sepuluh pagi, setelah di ronde kedua gantian ia yang 'menunggangi' tubuhku dari belakang. Ternyata dalam posisi begini memang mempunyai kenikmatan tersendiri. Aku tak bisa melihat, tapi bisa merasakan desakannya pada pantatku. Rasanya seperti ada yang meluncur-luncur, menyumpal, mengganjal, tapi enaknya bagai tak berujung.. Hari Minggu siang itu, usai semuanya, relatif kami tak punya acara lagi. Hanya putar-putar kota cari makan. Sorenya baru pulang dan mendapati Dede sudah ada di rumah. Besoknya aku sudah mulai sibuk melaksanakan tugas kedinasanku yang harus kuselesaikan dalam dua hari hingga Selasa. Selama di Yogya itulah aku menginap di rumah Om Wijoyo. Sebelum kepulanganku Rabu pagi besok, malam-malam ketika semua sudah terlelap, Om Wijoyo mengundangku untuk 'menikmati' kamarnya. Tengah malam itu kami bercinta habis-habisan hingga jam tiga pagi. Aku benar-benar menuruti kata Om-ku untuk 'membiasakan diri'. Dan ia benar-benar mau membimbingku, sehingga sulit bagiku untuk membedakan, apakah itu bimbingan yang baik atau buruk dari seorang Om kepada keponakannya. Aku tak peduli. Aku berusaha untuk menikmatinya saja dan melakukannya dengan cara yang menurut kami (bukan orang lain) adalah yang paling baik. Besoknya Dede dan ayahnya mengantarku ke stasiun Tugu. Aku seperti mengalami deja vu. Suasana perpisahan ini seperti yang kurasakan ketika kepulangan Om Wi dari Jakarta dulu. Hanya kali ini aku yang menangis dalam pelukannya. Om Wi' sendiri berusaha untuk tegar. Hanya matanya agak berkaca-kaca menatapku. Mungkin ia sengaja menahan diri, karena rasanya tak lucu kalau Dede melihat ayahnya sedang menangis. Dede sendiri tak sempat melihat itu semua, karena ia tengah sibuk membantu menaikkan barangku ke atas kereta. Satu hal yang membuatku merasa lega: aku telah berhasil melewati satu 'pelajaran' penting dari Om Wijoyo dan aku sangat menikmatinya. Mungkin aku hanya perlu membiasakan diri, sebagaimana pesannya. Tapi sampai sekarang aku belum dapat menjawab, apakah aku bisa membiasakan hal itu dengan orang lain, ataukah harus membiasakannya dengan Om-ku seorang saja. Tadi pagi sebelum aku berangkat, Om Wi' sempat datang ke kamarku dengan sebuah kejutan. Ia memintaku untuk melepas celana dalam yang sedang kupakai dan ditukar dengan miliknya yang juga sedang dipakainya saat itu. Ia bahkan membantu melepas celana dalamku dan masih sempat melakukan oral padaku beberapa saat. Oleh-oleh paling enak dari Yogya, katanya. Aku masih terus berpikir, apakah pertukaran 'CD' itu merupakan keinginanya agar kami berkomitmen untuk saling memiliki, atau hanya sekedar pertukaran biasa yang tak bermakna apapun. Dan hingga kereta yang kutumpangi memasuki Stasiun Gambir, aku belum juga menemukan jawabannya.

Bersama Kapten Heru

Tak pernah terbayangkan olehku bertemu dengan seseorang yang mengagumkan, baik hati, gagah, menyenangkan dan pasti handsome, dialah Kapten Heru. Malam itu aku merasa lapar sekali, sementara jam sudah menunjukkan pukul 07:30 WITA. Segera kupacu mobilku ke sebuah restaurant fast food terdekat. Kota ini memang tidak terlalu besar, sehingga tidak banyak tempat yang bisa dikunjungi, dan kalau malam yah tidak terlalu ramai. Beda sekali dengan kota kelahiranku, ibukota Jakarta. Aku sendiri baru beberapa bulan di kota ini untuk bekerja. Malam itu aku memesan beberapa fried chicken dengan nasi dan soft drink. Aku pun duduk di sebuah bangku yang menghadap ke luar. Di sampingku sudah duduk seorang laki-laki, mungkin berumur sekitar 35 tahun. Dengan senyum aku pun duduk didekatnya. "Ma'af Pak," kataku sambil senyum dan meminta izin untuk duduk di sampingnya. "Silakan, Mas," jawabnya sambil juga tersenyum. "Sepertinya bukan orang sini?" Rupanya dia mendengar logat bicara saya, sehingga dia menarik kesimpulan seperti itu. Akhirnya kami pun saling memperkenalkan diri. Ternyata dia seorang anggota militer bernama Heru, ya dia kapten Heru. Dia pun ternyata juga bukan orang sini, dia bertugas di kota ini. Dan yang lebih mengagumkan, ternyata umurnya sudah 45 tahun. Benar-benar terlihat muda dan gagah dengan kumis yang tertata rapih. Kami pun terus bicara dan Kapten Heru pun bercerita banyak mengenai pengalamannya, baik dalam penanganan keamanan di lingkungan, maupun cerita-cerita yang membuat hatiku deg-degan juga. Pengalamannya sudah banyak sekali, hampir seluruh pulau di Indonesia sudah dikunjungi dalam rangka tugas. Aku sangat tertarik dengan semua cerita-ceritanya termasuk cerita cintanya dengan beberapa wanita di kota ini. "Begitulah pengalaman saya Mas.." katanya kemudian. Sebenarnya aku tidak hanya tertarik dengan semua ceritanya, tapi yang membuatku lebih tertarik lagi adalah gaya bicaranya yang jelas dan tegas, wajahnya yang ganteng dan penampilannya yang gagah. Beberapa kali ceritanya diiringi dengan senyuman yang membuatku tak berdaya memandangnya. "Oh ya, kita baru kenal tapi sepertinya saya begitu dekat dengan Mas, sehingga saya cerita tanpa kendali, sampai cerita pribadi.. ha ha ha.. Mas sendiri punya pengalaman apa?" Tiba-tiba saja kapten Heru mengejutkanku dengan pertanyaannya. Aku terkejut dan bingung apa yang harus kuceritakan. "Wah, cerita apa ya?" kataku sambil berpikir. "Anda ramah dan baik, sehingga saya pun merasa kita sudah kenal lama sekali. Tapi apa yang bisa saya ceritakan?" "Masa tidak punya pengalaman?" Aku hanya terdiam berpikir. Sementara kami pun selesai makan. "Baiklah, saya akan ceritakan pengalaman pribadi saya, tapi baiknya tidak di sini," kataku. "Mari kita ke mobil saya.. nanti saya cerita pengalaman saya." Kapten Heru hanya terdiam, tapi aku melihat dia sepertinya tertarik dengan cerita yang akan aku ceritakan. "Tapi nanti saya diantar kembali kesini, karena saya juga bawa mobil." "Tidak apa-apa," kataku. Kemudian kami pun berjalan ke arah mobilku dan segera kustater. "Saya punya pengalaman agak pribadi sekali, Pak. Itulah sebabnya saya ingin cerita di luar, karena hal ini tidak umum sekali. Dan saya hanya cerita kepada Bapak, dan tolong jangan ceritakan pada orang lain." Kapten Heru makin penasaran tapi dia pun menyetujui dan berjanji untuk tidak menceritakan pada orang lain. " Saya mempunyai seorang teman yang sangat special sekali di Jakarta. Kami selalu jalan bersama, makan bersama, nonton bioskop, olah raga, dan kadang tidur bersama. Kami juga sering 'ML', kami sering bercinta.." Kapten Heru mendengarkan dengan penuh perhatian. "Dia seorang teman yang baik, berumur hampir 50 tahun, selisih umur dengan saya 20 tahun. Tapi.. dia sudah punya anak dan sudah beristri." "Beristri?" kapten Heru bertanya dengan heran. "Maksudnya?" Aku terdiam sejenak. "Yah.. saya bercinta dengan sesama jenis.." kataku pelan, saat itu pula Kapten Heru hanya terdiam tapi kemudian dia tersenyum. "Saya senang dengan Bapak," kataku tiba-tiba dan tak terasa tanganku sudah berada di pahanya. Kapten Heru hanya tersenyum dan membiarkan tanganku menjelajah di pahanya. "Saya lihat Mas biasa saja.. dan sama sekali tidak terlihat kalau Mas menyenangi sesamaihat kalau Mas menyenangi sesamaan, smart, pandai dan ramah. Saya tidak percaya itu." "Tapi itulah yang terjadi saat ini," kataku sambil terus tanganku mengelus menjelajahi paha Kapten Heru sambil sesekali saya memegang perutnya yang terasa begitu keras. Kapten Heru terus bicara pada saya, sementara saya sudah tidak tertarik dan sepertinya saya sudah tidak tahu lagi apa yang dibicarakannya mengenai diri saya. Saya lebih tertarik dengan senyumnya, wajahnya, suaranya dan entah kenapa tangan saya sudah jauh menjelajah memasuki daerah terlarang. Tangan saya sudah mulai mengelus sesuatu yang agak menonjol dari celana Kapten Heru. Dan tanganku pun mulai menarik resleting celananya, hingga Kapten Heru memegang tanganku. "Oh, ma'af.." kataku ketakutan. Aku.. oh, aku tidak bisa lagi mengendalikan diri. Aku begitu bernafsu, sehingga lupa siapa yang kuhadapi saat ini. Aku terdiam ketakutan, sementara keringat dingin mulai mengucur dari keningku. Badanku gemetar, aku takut sekali. "Saya bukan seperti itu.." kata Kapten Heru dengan melontarkan senyum. Aku pun makin bingung dengan sikap dan tindakanku, aku tidak mengerti dengan senyumnya. "Saya tertarik dengan semua ceritamu, tapi saya sendiri sebenarnya tidak seperti itu," kata Kapten Heru. "Tapi saya dapat mengerti perasaanmu." Mengerti? Oh aku benar-benar bertambah bingung. Sementara tanganku masih dipegangnya. Pegangannya begitu kuat sehingga menusuk jantungku. "Ma'afkan saya Pak Heru.." kataku pelan. "Saya menyukai Bapak." Kapten Heru hanya kembali tersenyum, lama kami terdiam. "Baiklah, kita coba.." Ohh meledak sudah perasaanku, kata-kata yang membuatku terkejut, kukira dia akan marah besar padaku, ternyata! "Tapi jangan di sini.. tidak baik dilihat orang.." kata Kapten Heru kembali. Langsung saja kupacu mobil mengarah ke rumahku. Tak banyak lagi yang kami bicarakan, hingga tiba di rumahku. kemudian kuajak Kapten Herui masuk dan kukunci rumah dengan rapat. Sementara Kapten Heru duduk di sofa, akupun pergi mengambil air minum. Di rumah ini aku hanya tinggal sendiri. Kapten Heru pun minum air yang kuberikan, saat itu pun aku sudah tak tahan lagi, segera kuberlutut dan kupeluk perutnya dan kuciumi kedua belah pipinya. Kapten Heru hanya diam sambil sesekali meringis kegelian dan terus senyum sambil tanganya memegang bahuku. Dengan perlahan kubuka kancing bajunya satu persatu hingga terlihatlah bentuk tubuhnya didalam kaos ketatnya. Langsung kubuka kaos tentaranya dan ohh bagus sekali tubuhnya, dadanya yang bidang ditumbuhi oleh bulu-bulu yang tipis dan terus sampai ke bawah dan mungkin sampai ke daerah vitalnya. Kemudian aku pun membuka pakaianku. Kubuka celana panjangnya sambil terus kunikmati aroma kejantanan Kapten Heru. Ohh betapa nikmatnya, aromanya begitu khas masculin. Bulunya begitu lebat sekali disekitar senjatanya terus memenuhi hingga paha dan kakinya, segera kuhisap dan kunikmati senjatanya yang berukuran normal. Ohh nikmat sekali, beberapa kali Kapten Heru mengerang, menikmati hisapanku. "Ohh teruuss.. enak sekali.. teruss.." Kami pun sudah telanjang tanpa busana di sofa ruang tamu. Kapten Heru sudah tak tahan, nafsunya telah sampai ke ujung kepalanya, mendidih, dan dia langsung merebahkan tubuhku di sofa panjang menaiki tubuhku dan segera menggenjot senjatanya di antara kedua belah pahaku, aku pun sangat menikmatinya. Ohh.. nikmat sekali. "Teruuss.. Pak Heru.. Ohh.. enak sekali.." Kami pun berpelukan dan aku pun berusaha mencium bibirnya. Ohh nikmat sekali bibirnya, nikmat sekali. Terus kuraba tubuh Kapten Heru yang kekar berisi sambil terus raba pantatnya yang keras berisi. Dengan nafas yang memburu, kapten Heru terus memainkan senjatanya di atas tubuhku, "Teruss.. menggenjot.. teruss.." Dia sudah tidak dapat mengontrol diri, dia sudah lupa siapa yang dihadapi dalam "ML", dia menikmati permainan ini, makin dia bernafsu, aku pun bertambah nafsu pula. Dia bagaikan banteng liar, benar-benar jantan. Gayanya yang begitu hebat, permainan yang begitu kunikmati, dan belum pernah kutemui permainan seganas itu, makin liar, makin keras, otot-ototnya yang kencang, keras sekali, mengagumkan. "Aku mau keluar.. aku mau keluar.." "Saya juga.. saya mau keluar Pak.." "Croot.. croot.. croot.." Tumpahlah sperma Kapten Heru bersatu bersama sperma milikku di tubuhku. Dia pun kelelahan dan tidur sebentar memeluk tubuhku hingga kuajak dia ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Kami pun mandi bersama dan saling menyabuni, tak banyak yang kami bicarakan kecuali lontaran senyum yang memuaskan, terus kusabuni tubuh kapten Heru sambil sesekali kupeluk dan kuciumi tubuhnya. Begitu juga dengan Kapten Heru, dia juga melakukan hal yang sama. Kulihat senjatanya sudah mulai bereaksi, terus naik dan terus menegang hingga akhirnya benar-benar tegang maksimal, langsung saja kembali kuhisap, dia pun menikamtinya. Senjataku pun menegang dengan keras. Rupanya Kapten Heru juga ingin melakukan hal yang sama, dia pun segera menghisap burungku yang sudah menegang maksimal. Ohh nikmat sekali. Kemudian kuajak Kapten Heru ke kamar tidurku dan dengan nafsu yang membara terus dia memeluk dan menggenjot tubuhku, tekanannya makin keras, makin kunikmati, kemudian kuangkat kedua kakinya dan kuciumi sekitar buah zakar dan lubangnya. Kumainkan lidahku keluar masuk ke dalam lubangnya dan dia pun mengerang nikmat dan sambil kuhisap kumasukkan jari-jariku ke dalam lubangnya, dia begitu menikmatinya hingga tak tersa kalau bukan lagi jariku yang masuk ke dalam lubangnya, tapi sudah senjataku berada di dalamnya. Kemudian terus kugenjot naik turun sambil kuciumi kedua pipi dan lehernya. Naik turun pantatku menggenjot senjataku untuk keluar masuk ke dalam lubang. Ohh lubang itu begitu rapat dan belum pernah ada yang memasukinya, aku menikmatinya, aku pun berteriak. Sambil tangan kananku terus mengocok senjatanya yang sudah tegang maksimal. Terus kukocok sesuai irama pantatku. Begitu juga dengan Kapten Heru, dia juga tak tahan dengan permainan senjataku di dalam lubangnya naik dan turun, keluar masuk dengan pelan kemudian keras, pelan, dan Ohh kami puas, kami puas. "Ohh.. aku mau keluar.." kataku. "Teruss.. lebih keras lagi.. teruss.. masukkan lebih dalam lagi.. aku menikmatinya.. teruss.." "Croot.. croot.. croot.." Kami pun keluar lagi bersamaan, banyak sekali sperma yang muncrat dari senjata Kapten Heru, putih dan kental sekali. Kami pun tidur berpelukan beberapa saat. Betapa indahnya hari ini. Ohh.. terima kasih Kapten Heru. Kami pun beberapa kali bertemu dan kami bersahabat saling berkunjung ke kantor dan terus bermain bila bertemu. Sampai akhirnya pindah tugas ke daerah lain. Saya tidak akan melupakan. Terima Kasih Kapten Heru. Saya yakin kita pasti bertemu lagi.

Bermula Di Arena Kolam Renang

Pesta Pekan Olahraga Nasional ke XV baru saja usai, akan tetapi kenangan dan bayangan wajah seorang atlit renang dari salah satu provinsi di Indonesia itu (sengaja aku nggak mau menyebutkan daerah asalnya), masih lekat terbayang dalam ingatanku, Jerry namanya. Pada saat acara pembukaan PON XV semua atlit berdefile berdasarkan urutan yang sudah ditentukan oleh panitia penyelenggara, pada saat itu mataku menatap seraut wajah yang bagiku terasa lain dari pada yang lain, rasanya wajah itu begitu special bagiku dengan mata elangnya yang seakan menusuk sampai dasar hati yang paling dalam, untuk mengenalnya lebih jauh rasanya tidak mungkin karena begitu banyaknya peserta yang berdefile sedangkan jarak antara aku dan dia cukup lumayan jauhnya. Aku tahu dia atlit dari provinsi itu karena kulihat dari seragam yang dipakainya, karena di depan barisannya ada tulisan daerah asalnya yang begitu besar dan ditulis dengan huruf yang mencolok, tapi aku masih belum mengetahui dia atlit untuk cabang olah raga apa? Sampai akhirnya suatu sore aku iseng-iseng datang ke gelanggang renang yang ada di GOR Renang Kertajaya, karena aku memang bukan atlit yang diunggulkan sehingga dalam babak penyisihan aja sudah keok, jadi masih banyak waktu yang tersisa untuk santai sambil menikmati rekan-rekan atlit berlaga digelanggangnya masing-masing. Dan aku paling menyukai gelanggang renang, karena alasannya yah tahu sendiri khan? Disana banyak body-body yang bagus yang hanya terbungkus celana yang sangat minim sekali bahkan seminim mungkin untuk meringankan gerak tubuh pada waktu berenang. Pada saat babak penyisihan kudengar dari pengeras suara, yang menyebutkan nama-nama atlit yang akan berlaga dilintasan yang juga ikut disebutkan. Dan akhirnya kudengar sebuah nama Jerry atlit renang yang mewakili propinsinya yang sebelumnya sudah kuingat-ingat karena kepenasaranku. Betapa hatiku berdegup dengan kerasnya ketika kulihat si mata elang itu, ternyata dia bernama Jerry, oh Jerry, Jerryku kamu mau berlaga sore ini. Walaupun mataku hanya terpaku pada wajahnya dan bodinya yang begitu aduhai itu, dengan dada bidang membentuk segitiga dan pinggang yang ramping serta otot lengan yang bertonjolan tergambar secara jelas, mungkin sekali dia sering mengikuti program fitness yang cukup ketat. Aku berusaha untuk menahan diri, akan tetapi aku tak mampu. Akhirnya aku bangkit dari dudukku dan menuju ruang ganti atlit karena aku tahu pasti bahwa sehabis berlaga pasti masuk keruang ganti untuk menunggu giliran selanjutnya kalau menang dan untuk ganti dengan pakaian seragam daerahnya kalau kalah. Ternyata setelah usai perlombaan renang tersebut, kudengar dari pengeras suara, namanya tidak terdaftar sebagai pemenang, akan tetapi dia berada diurutan yang kesekian sehingga dia tidak mungkin untuk tampil dibabak berikutnya dan hal ini aku makin bersorak karena dengan demikian aku mempunyai banyak waktu untuk berkenalan, mengobrol dan yang lainnya. Ketika simata elang itu memasuki ruang ganti dengan wajah yang kuyu dan tak bersemangat, aku segera menghampirinya dan menyapanya. "Hallo, anda sudah berusaha dengan baik, tapi rupanya nasib baik belum berpihak kepada kita," kataku untuk memulai pembicaraan sambil aku mengangsurkan tanganku untuk menjabat tangannya. "Aku Arie, kamu Jerry khan?" Dia menyambut tanganku dengan senyum yang agak dipaksakan karena beban yang baru dilaksanakan untuk membawa nama baik daerahnya tidak berhasil. Aku tahu hal itu, maka aku segera mengajaknya bicara lagi, walaupun dia kelihatan ogah-ogahan, akan tetapi dalam hati aku punya niat untuk menaklukan si mata elang ini dengan berbagai macam cara yang dapat kulakukan, walaupun mungkin orang lain akan berkata nekat, gila atau lain sebagainya. "Jer, kita senasib," kataku lagi. "Kamu dari cabang olah raga apa?" tanyanya. "Dari atletik," jawabku singkat. "Kamu, sudah lomba hari ini," lanjutnya lagi. "Sudah, tadi pagi terus hasilnya sama kayak kamu, keok juga dibabak penyisihan," jelasku lagi. Dari jawabanku tadi rupanya membuat dia agak terhibur dengan kekalahannya dan merasa kalau ada seseorang yang senasib dengannya, sehingga dia mulai terbuka dan mulai antusias. "Ok, aku mandi dulu yaa, terus nanti kita ngobrol bareng" "Ok, aku tunggu diluar yaa," jawabku untuk berbasa-basi. "Nggak usah, disini aja," pintanya. Dasar aku memang penginnya melihat bodinya secara seutuhnya, maka akupun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku sengaja mengambil tempat duduk yang persis berhadapan dengan shower dimana dia sedang mandi, dan kayaknya sudah jadi kebiasaannya dia untuk mandi, ganti pakaian dengan telanjang bulat dan nggak merasa risih atau malu dilihat oleh orang lain, walaupun pada saat itu kulihat otot diselakangannya lumayan besar walaupun habis terendam air kolam renang dan juga kena air shower yang cukup dingin menyegarkan itu. Dan kulit disekujur badannya begitu mulus, putih bersih dan hanya ditumbuh bulu-bulu yang hitam disekitar selakangannya saja, dan pemandangan ini begitu membuatku melayang-layang dalam angan-anganku untuk bisa mencumbuinya, menyelusuri sekujur tubuhnya yang mulus itu dan bermain-main dengan penisnya yang kekar itu. Sampai kurasakan ada tangan kekar yang menyentuh pundakku, seketika aku tersadar dari lamunanku. "Lagi melamum yaa," katanya. "Hmm," gumanku dalam hati aku berkata, "Aku lagi mengagumi keindahan tubuhmu dan aku ingin menghisap penismu, kuharap kamu mengerti" "Aku sekarang sudah nggak punya beban mental lagi," jawabnya . "Enaknya kita keliling kota Surabaya aja, yaa," pintanya. "Ok, aku juga nggak keberatan koq menemani kamu jalan-jalan, syukur kalau aku bisa jadi guide kamu," jawabku. Dari perkenalan yang baru saja, kami sudah akrab seperti kawan lama yang bertemu kembali dan dari obrolan santai selama ini kuketahui bahwa Jerry masih berumur 20 tahun dan dia masih menjadi mahasiswa disalah satu perguruan tinggi dikotanya. Dengan tinggi badan sekitar 180 cm, lingkar lengan 37 cm dan lingkar pinggangnya 66 cm, makin membuatku terpesona dengan bentuk tubuhnya yang nyaris sempurna bagiku dan yang menjadi idam-idamanku selama ini, dengan wajah yang lumayan tampan dan yang paling menarik dari semuanya itu adalah sorot matanya yang tajam bagaikan burung elang yang sedang mencari mangsa, akankah aku yang menjadi mangsanya? Akhirnya malam itu kami berdua jalan-jalan ke Galaxy Mall yang letaknya tidak jauh dari GOR Kertajaya, kami berdua mampir dulu ke Pizza Hutz untuk mengisi perut karena Jerry merasa sangat lapar setelah berlomba tadi, setelah putar-putar dari lantai satu sampai tiga akhirnya kami berhenti di Studio 21 yang ada dilantai tiga di depan arena Time Zone. Karena film yang diputar saat itu MI.2 (Mission Imposible 2) aku menyukainya dan Jerrypun menyetujuinya maka aku membeli dua tiket masuk dan nontonlah kami berdua sambil ngobrol mengenai latar belakang cabang olah raga yang ditekuni masing-masing dan juga cerita dari daerah asal kami masing-masing sampai tak terasa waktu dua jam lebih telah berakhir dengan usainya pemutaran film tersebut. Setelah sampai diluar, aku jadi binggung, abis sudah sepi sedangkan jalan-jalan di Surabaya belum seluruhnya kuhafal, demikian juga dengan Jerry. Mau pulang sendiri-sendiri ke arah tempat tinggal kami selama di Surabaya, sangat berjauhan. Hingga Jerry punya usul. "Ar, gimana kalau malam ini kamu tidur ditempat saya aja yaa, jadi kalau misalnya nyasar, yang nyasar dua orang barengan, nggak sendiri-sendiri? Ok," pintanya. "Ok," jawabku sambil tersenyum dalam hati aku berkata, "Ini yang kuharapkan dari tadi" Akhirnya kami memanggil taksi yang membawa kehotel tempat Jerry tinggal di Surabaya. Didalam taksi aku mulai menyelidik. "Jer, bukannya sekamar ditempati dua orang," tanyaku, "Terus kamu mau ngajak aku nginap ditempatmu, terus aku mau kamu suruh tidur disofa yaa," tanyaku sambil bercanda. "Ha, ha ha Ar, Ar, kamu bisa aja," jawabnya. "Teman sekamar saya hari ini lagi ada lomba diluar kota, jadi kamarnya kosong tinggal aku sendiri yang tinggal, makanya aku berani ngajak kamu nginap ditempatku," jelasnya. Setelah sampai di kamar yang ditempati Jerry, lumayan juga kamarnya cukup gede dan tempat tidurnya double bed lagi yaitu sebuah tempat tidur besar untuk berdua. Yang makin membuat pikiran nakalku timbul lagi. "Asyik, ranjangnya satu," sorakku dalam hati. Karena begitu penatnya acara hari ini buat Jerry, tanpa ba bi Bu dia langsung aja copot seluruh pakaiannya dan hanya tinggal memakai CD aja, dia langsung mengelosoh ditempat tidurnya sambil berkata. "Ar, sorry yaa, aku begitu capek hari ini" "Ok, boleh aku memijit kamu untuk meredakan keteganganmu," usulku. "Dengan senang hati kalau kamu mau," jawabnya lagi. "Apa kamu punya lotion" Dia segera bangkit dari tempat tidurnya dan menuju ke lemari dan mengambil satu botol sedang lotion dan diberikannya kepadaku. Dan dia segera tengkurap kembali. Kutuangkan sedikit lotion ditanganku dan mulai kuurut dari tenguknya dan kebawah lagi ke punggungnya. "Aduh Ar, enak benar pijitan tanganmu," komentar Jerry, "Aku nggak rugi deh kenalan sama kamu yang pintar mijat," pujinya. Aku diam saja tapi dalam hati aku berkata, "Eh, kamu belum tahu yaa pijatan saya yang lain, yaitu pijatan lidahku dipenismu, ntar bakal kamu rasain deh" Setelah punggungnya selesai kupijat sampai kepinggang, aku segera mengalihkan pijatanku pada kakinya yang kekar dan berotot itu dari bawah sampai kepahanya dan kulanjutkan kepantatnya yang berisi isi. Rupanya dia begitu menikmati setiap pijatan dan rabaan tanganku, hal ini terlihat dari tidak adanya komentar darinya saat tanganku mulai menjelajah daerah-daerah yang sensitif ditubuhnya. Sampai akhirnya aku memintanya untuk membalikkan tubuhnya menjadi telentang dan.. "Oh my God" ternyata ada benjolan sebesar telur ayam yang berwarna kemerah-merahan yang menyembul diantara pusarnya dari celana dalamnya yang mini itu, tapi dia tidak berusaha untuk menutupinya terhadapku walaupun aku baru dikenalnya sore tadi. Untuk mengalihkan perhatianku, aku mulai memijat tangannya secara bergantian dan kuteruskan dengan kedua kakinya bagian depan sampai aku berhenti dipinggannya yang muncul benjolan seperti jamur ditengah-tengah dibawah pusarnya. Kulihat wajahnya dan matanya, tidak ada nada protes, kemudian kudengar suaranya memecah kebisuan kami berdua selama ini. "Ar, kenapa berhenti," protesnya. "Aku malu Jer mau melanjutkan, apa kamu nggak malu kelihatan ujung penismu yang menyembul dari celdal yang tak mampu menampung rudalmu yang gede itu," jawabku. "Oh itu," lanjutnya, "Sudah biasa tuh kalau penisku ngaceng pasti nyembul dari balik celdal miniku ini," jelasnya lagi. "Kalau mau sekalian aja saya copot yahh nih celdal biar enak dan bebas, kalau kamu mau mijitin sekalian juga nggak apa-apa koq," sambil dia melorotkan celdalnya lalu dilemparnya ke lantai. "Eh nekat benar nih anak," kataku dalam hati. Segera kuambil lotion yang kutuang ditelapak tanganku dan kulumurkan dibatangnya yang sudah dari tadi ngaceng dan juga sedari tadi aku pengin menyentuhnya tapi tidak ada cara untuk memulainya baru sekarang kesempatan itu kudapatkan, maka tanpa dikomado untuk yang kedua kalinya. Kuelus-elus, kupijat-pijat dan kukocok perlahan-lahan yang menimbulkan reaksi yang begitu hebat dengan terdengarnya rintihan dan lenguhan dari mulut Jerry. "Ayo, Ar, terus Ar, enak sekali Ar," pintanya. "Biar afdol, kamu juga buka dong baju kamu semuanya," lanjutnya. Aku segera beringsut dari tempat tidur dan mulai membuka satu persatu pakaianku yang menempel ditubuhku hingga telanjang bulat seperti Jerry. Dan aku mengambil posisi jongkok diatas kedua paha Jerry, sambil kembali mengocok penisnya yang tegak melengkung itu dengan kepala besar berwarna kemerah-merahan. Tanpa kuduga tangan Jerry meraih penisku yang memang sudah sedari tadi ngaceng melihat pemandangan indah yang ada dihadapanku ini. Tapi posisi seperti ini tidak bertahan lama karena Jerry tiba-tiba membaringkan aku disisinya dan kemudian dia mulai menciumiku dengan sangat bernafsu seperti orang yang sedang kehausan dipadang pasir. Aku jadi kewalahan dalam menghadapi serangan Jerry yang tak kuduga sebelumnya, padahal aku yang punya rencana untuk memberikan kejutan pada Jerry, ternyata sebaliknya justru aku sendiri yang terkejut dengan ulah Jerry yang begitu diluar dugaanku sebelumnya. "Jer, Jer, aku.. aku," kataku yang tak bisa kulanjutkan lagi karena ciumannya pada bibirku dan kudengar bisikannya ditelingaku. "Ar, Ar maafkan aku Ar, aku begitu mengagumimu dengan ketegaran hatimu dalam menghadapi kekalahan diarena, sejak itu ada perasaan simpati, ingin mengenalmu seutuhnya dan apa lagi aku nggak ngerti, aku memang gay," jawab Jerry. "Oh Jer, ternyata kita saling mengharapkan dan ingin saling mengetahui seutuhnya dari sisi kehidupan kita masing-masing," lanjutku. "Ok Jer, please aku siap mau kamu perlakukan semaumu malam ini," kataku pasrah. "Oh tentu Ar, tapi aku nggak mau egois, kamupun juga punya hak sama atas diriku, ok?" katanya. Setelah kecupan dan saling melumat bibir masing-masing, aku mulai menciumi puting didada yang bidang itu dan kutelusupkan bibirku diketiaknya yang beraroma kejantanan itu, dan terus turun kepusarnya dan kurasakan ada benda hangat dan keras yang menyentuh-nyentuh leherku dari arah bawah yang segera kulumat benjolan sebesar telur ayam itu, ketika kumasukkan ke dalam mulutku kurasakan kehangatan benda itu dengan kejut-kejut yang menggelinjang dirongga mulutku. Kumasuk keluarkan tuh penis yang ngaceng kaku dengan bibirku sambil kuhisap-hisap dan kusedot-sedot dan rupanya Jerry merasakan kenikmatan yang luar biasa dengan apa yang kulakukan itu. Karena aku tidak ingin segera mengakhiri permainan itu secepatnya, maka segera kulepaskan hisapanku pada penisnya dan kemudian yang menjadi sasaranku adalah kantong pelirnya dan terus kebawah lagi ke lubangnya yang ditumbuhi rambut-rambut halus disekelilingnya. Rupanya Jerry mengerti dengan apa yang kuinginkan, segera diraihnya botol lotion dan diusapkan disekitar lobangnya sambil berusaha untuk melemaskan lobangya dengan cara memasukkan jarinya ke dalam lobangnya. "Ok, Ar aku sudah siap, please, masukkan punyamu dilobangku," pintanya. "Ok, Jer" Segera kubimbing penisku yang ukurannya lebih kecil sedikit bila dibandingkan dengan penis Jerry yang kepalanya membonggol itu, kuarahkan kelobang pantat Jerry dan. "Ohh, aduh Ar, enak Ar," racau Jerry. "Ayo terus Ar, goyang terus Ar" "Ooohh Arr, ennaakk Ar, Yaahh, oohh yess enak Ar" Akupun segera mengimbangi dengan gerakan maju mundur dengan cepatnya dan tak berapa lama kemudian aku mengejang dan "Ohh Jer, aku mau keluar nih," kataku. "Ooohh, Jerr, enakk Jer, nikmat Jerr," sambil kulumat bibirnya aku mengelosoh di sebelahnya dengan nafas yang masih tersengal-sengal sambil kunikmati sisa-sisa kenikmatan dari hasil pendakianku tadi kubisikkan ditelinga Jerry. "Ayo Jerr, sekarang giliran kamu mengadakan pendakian sampai kepuncaknya" Segera Jerry bangkit dari tidurnya dan kemudian mulai mencumbuiku dari ujung kepala sampai keujung kaki dan kemudian berhenti dipenisku yang barusan mengeluarkan pejuhnya. Dibuatnya bermain dengan lidahnya, dikulumnya dan disedotnya sampai kurasakan mulai ada ketegangan lagi yang menjalari penisku kemudian Jerry mulai mengendus kantong pelirku dan kemudian lidahnya bermain-main disekitar lobang anusku dan berusaha untuk memasukkan lidahnya ke dalam lobangku. Hal ini kurasakan berapa saat sampai aku sendiri merasakan lobangku sudah siap untuk menerima milik Jerry yang lebih besar dariku, ketika penetrasi dari penis Jerry mulai membuka lobangku kurasakan ada benda hangat yang menyeruak masuk dan aku merasakan kesakitan, pedih panas tapi itu kurasakan untuk beberapa saat sampai seluruh batang Jerry masuk sepenuhnya ke dalam lobangku dan dia memberikan sedikit waktu untuk relaks agar lobangku bisa menerima dan menyesuaikan dengan penisnya yang besar itu yang panjangnya sekitar 19 cm dengan diameter kurang lebih 5 cm itu. Ternyata Jerry bukan tipe orang yang egois yang hanya mau memperhatikan diri sendiri akan tetapi dia juga memperhatikan lawan mainnya. Setelah beberapa saat aku merasa siap, kuberi tanda pada Jerry untuk memulai pendakiannya, dengan mengangkat kedua kakiku dan dipanggul diatas pundaknya, kurasakan batang Jerry yang pejal itu menyodok-nyodok sampai keperut, akupun jadi terangsang kembali dan segera kukocok kembali penisku yang sudah ngaceng kembali sejak dipermainkan oleh Jerry tadi. Kurasakan begitu nikmatnya benda hangat dan pejal didalam lobangku, sampai akhir. "Aduh Jerr, aku mau keluar lagi nih," kataku. "Tunggu sebentar saya juga sudah mau nyampe," kata Jerry. "Kita keluarin bareng-bareng yaa," lanjutnya. Beberapa sat kemudian aku melenguh dengan dengan kerasnya pertanda pertahananku sudah jebol dan tak berapa lama kemudian kudengar suara Jerry. "Aaaoo, Jerr" "Ooohohh Jer, eennaak Jer" Pejuhku muncrat diatas perut dan dadaku. "Akh, akh aaoohh" sahut Jerry sambil mencabut penisnya dari lobangku. Kemudian mengocoknya dengan cepat dan memuntahkan pejuhnya diatas perut dan dadaku sehingga pejuhku dan pejuh Jerry bercampur menjadi satu, kemudian dengan lahapnya dia mulai menjilati pejuh kami berdua sampai tidak tersisa sedikitpun diatas perut dan dadaku, kemudian dia menghampiri aku dam mencium bibirku, ternyata didalam mulutnya penuh dengan pejuh kami berdua yang akhirnya dibuat permaianan secara bergantian antara mulutnya dan mulutku hingga akhirnya aku dan Jerry mendapatkan pejuh setengahnya dan kami telan bersama-sama. Sebagai tanda romantisme, aku tidak mau melewatkan masa-masa yang indah itu, kupeluk erat tubuh Jerry yang kekar, penuh berotot dan seksi itu walaupun tubuhku juga tidak terlalu kecil tapi tidak sekekar Jerry. Dia menelungkupkan badannya diatas dadaku seolah-olah dia sedang menyilang, tubuhnya ada disebelah kiriku dan kepalanya yang tertelungkup berada disisi kepalaku sebelah kanan, sedangkan kaki kirinya berada diatas pahaku sebelah kiri, sambil kuelus-elus punggungnya yang padat sambil berbincang-bincang santai. "Jerr, ternyata kamu hebat, aku kalah deh sama kamu dengan skor dua satu," kataku. "Kamu juga Ar," katanya. "Apakah kita saling jatuh cinta atau hanya karena saling membutuhkan, Jer," tanyaku. "Aku tak tahu Ar, tapi harapanku semoga pertemuan kita ini tidak hanya berakhir begitu saja dengan berakhirnya pesta PON ini," lanjutnya. "Tapi kapan lagi ada kesempatan seperti saat ini," kataku lagi, "Bukannya tempat tinggal kita saling berjauhan, aku ada dibelahan timur sedangkan kamu ada dibelahan barat dari negeri kita ini" "Bukannya masih ada beberapa hari lagi sebelum PON berakhir," kata Jerry. "Betul," jawabku. "Gimana kalau kita melewatkan waktu yang beberapa hari ini secara bersamaan, ok?" kata Jerry. "Its good idea," sambungku. Seperti yang menjadi kesepakatan kami berdua, akhirnya tiada hari yang kami lewatkan dengan sia-sia selama masih ada waktu untuk berkumpul di arena PON XV. Kadang Jerry yang datang kekamar hotelku dan mulai bercumbu dan mereguk kepuasan bersama disaat rekan sekamarku sedang berlaga dan kadang aku yang datang ketempat Jerry menginap disaat rekannya berlomba diarena, kamipun juga berlomba untuk mencapai pendakian dan kepuasan. Ketika upacara penutupan PON dilaksanakan pada hari terakhir, pada saat seluruh atlit berkumpul membentuk barisan untuk berdefile berdasarkan cabang olahraganya masing-masing, maka aku dan Jerry langsung saja cabut dari arena itu dan mencari tempat untuk mojok, tanpa menunggu upacara penutupan itu selesai. Karena begitu banyaknya atlit yang berkumpul sekitar 6000 orang, jadi kalau berkurang dua orang saja tidak mungkin mempunyai arti dalam barisan tersebut, karena hari ini merupakan hari terakhir kami bisa bersama sedangkan esok pagi kami sudah harus kembali kedaerah kami masing-masing. Pada malam itu kami lewatkan dengan seluruh kemampuan kami berdua dan hampir semalaman kami tidak tidur karena ingin melampiaskan dahaga kami sampai sepuas-puasnya, mungkin empat atau lima kali kami ngecrot dalam waktu semalam itu. Sekarang PON XV telah usai, tinggallah aku sendiri dengan kenanganku yang tak akan hilang begitu saja. Kurenungkan ternyata slogan PON telah menjadi kenyataan diantara aku dan Jerry yaitu PON memperat kesatuan dan persatuan bangsa. Baru dua hari yang lalu aku berpisah dengan Jerry, akan tetapi ada satu perasaan yang hilang, entah apa itu aku juga tak mengerti. Akankah aku jatuh cinta pada Jerry atau? "Oh, aku tak tahu". Sore itu ketika aku duduk sendirian menghadap ke arah matahari tenggelam. Kubisikan kata-kata. "I missed you Jerry, aku kangen berat sama kamu, kapan kita bisa bertemu lagi, apa kamu juga kangen sama aku Jerry" Aku tak tahu apakah Jerry juga mempunyai perasaan seperti yang aku rasakan saat ini, sampai kudengar dering telepon yang membangunkan aku dari lamunanku dan segera kuangkat gagang telepon itu. "Hallo" "Hallo, Arie yaa," jawab suara diseberang sana. "Iya betul, kamu Jerry yaa" "Aku kangen berat deh sama kamu Ar, makanya aku telpon kamu," jawab Jerry. "Sama dong Jerry, aku baru saja duduk termenung sambil membisikan kata aku kangen kamu Jerry, dan ternyata angin yang baik hati menyampaikannya pesanku padamu, terbukti kita punya rasa kangen yang sama diwaktu yang bersamaan juga" jelasku. "Tapi aku paling kangen sama isepanmu itu lho," goda Jerry. "Sama, aku juga kangen sama kepala penismu yang segede telur ayam itu lho, Jerr," godaku juga nggak mau kalah. "Ok, kalau ada kesempatan kita jumpa lagi ya dan bermain bersama lagi yaa sampai ppuuaass sekali," lanjutnya. "Ok Jerry terima kasih, kamu sudah membuat kenangan manis dalam hidupku dan aku tak akan melupakan mata elangmu yang membuatku tergila-gila padamu," kataku. "Ok, Ar, bye sampai jumpa yaa dilain kesempatan," kata Jerry mengakhiri pembicaraan jarak jauh kami. "Bye, Jerry," kataku sambil menutup gagang telepon dengan perasaan yang bercampur aduk, senang, sedih, kesepian, bangga dan yang pasti aku merasa sendiri lagi dalam kesendirianku dan sepi lagi dalam kesepianku entah sampai kapan. "Ooohh," hanya itu desahku yang keluar dari mulutku dan semuanya kembali beku, sunyi dan dingin serta hening. Entah sampai kapan lagi aku dapat bertemu dengan Jerryku atau dengan Jerry-Jerry yang lain yang sanggup menggantikannya untuk menghangatkan kembali kebekuanku ini. Itulah yang menjadi akhir kisahku disela-sela berlangsungnya acara pesta olah raga PON XV. Di Sidoarjo, Surabaya, Jawa Timur.